Rabu 29 Apr 2020 16:08 WIB

Disiplin Yes, Diselipin No!

Teori konspirasi China sebagai dalang virus corona memang membingungkan.

Anif Punto Utomo
Foto: Republika
Anif Punto Utomo

Oleh Anif Punto Utomo, Mantan Jurnalis Republika/Pengamat Ekonomi

Salah seorang cerdik cendekia di negeri ini tiba-tiba memposting di WA grup tulisan berjudul: Corona, ada yang Salah!

Isinya mempertanyakan kenapa Shanghai dan Beijing yang berjarak 629 km dan 1.052 km dari Wuhan relatif aman dari Corona. Sebaliknya New York, London, Itali, Spanyol, Iran yang berjarak ribuan kilometer justru menjadi kota atau negara yang diserang habis-habisan sehingga mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal. 

‘’Apa pun hal-hal ini, mereka hanya menunjuk pada satu hal bahwa Corona adalah senjata bio-kimia China, yang ditinggalkan Cina untuk kehancuran di dunia!  Setelah membuat beberapa orang terbunuh, Cina sekarang telah mengendalikan virus ini!  Mungkin dia juga punya obat, yang tidak dia bagikan dengan dunia!’’

Tuduhan China sebagai penyebar virus merupakan teori konspirasi sebagaimana sebelumnya yang menuduh Amerika Serikat menyebarkan Corona lewat tentaranya yang membawa virus ke China. Teori konspirasi Amerika gugur karena ternyata justru Amerika yang kini menjadi pusat pandemik baru dengan korban terpapar tembus satu juta.

Lantas, kenapa Shanghai dan Beijing yang berjarak dekat jumlah korban Corona tak sedahsyat Amerika dan Eropa yang berjarak ribuan kilometer? Virus Corona jenis Covid-19 ini tidak pandang jarak bro! Apalagi semua jarak itu bisa ditempuh dalam sehari-semalam. Mobilitas dalam era global ini menjadikan jarak bukan halangan.

Sebaliknya, kenapa di Amerika dan Eropa, menjadi korban terbanyak Covid-19? Jawabannya: disiplin. Ya, disiplin. Sesederhana itu. 

Ketika Wuhan lockdown, apakah kota lain di China berjalan seperti biasa? Tidak. Semuanya tiarap. Kegiatan tidak penting ditinggalkan, pemerintah menghimbau, masyarakat me-lockdown sendiri. Mereka disiplin. Akhirnya rantai penularan virus terputus. China terlepas dari jeratan Corona.

Amerika? Banyak video beredar tentang bagaimana warga Amerika meremehkan Corona. Mereka tetap berpesta, tetap berjemur di pantai.  ‘’Nikmati hidupmu, lupakan Corona,’’ begitu teriak mereka. Beberapa hari lalu walikota Las Vegas berdebat dengan gubernur Nevada dan menuntut agar lockdowndicabut. Gubernur New York digertak Presiden Trump agar melonggarkan lockdown. Diberitakan juga pekan lalu, ribuan orang nekat berwisata di pantai Florida. Nir disiplin.

Beberapa negara di Eropa juga begitu. Itali misalnya, ketika lockdown justru banyak orang yang mudik. Tempat-tempat nongkrong juga masih dijubeli anak muda. Terjadilah penularan secara masif. Begitu pula di Spanyol. Di kedua negara ini Covid 19 memakan korban tertinggi di Eropa, kenapa? Lagi-lagi karena tidak disiplin.

Indonesia? Sama saja. Di Jakarta yang pertama kali memperoleh ‘sertifikat’ PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) jalanan masih ramai. Lalulalang pergerakan orang masih tinggi. Begitu juga yang terjadi di Bodetabek, ketika PSBB diberlakukan beberapa pasar masih buka dan ramai didatangi pembeli. 

Sampai 29 April 2020, data dari Johns Hopkins University menunjukkan jumlah terpapar Covid-19 di 216 negara di dunia 3,061,514 orang dan 211.749 meninggal. Amerika di urutan teratas dengan 1.000.197 terpapar dan 56.567 meninggal.

Urutan kedua sampai keenam negara di Eropa yaitu Spanyol (terpapar 228.627 orang), Itali (199.414), Perancis (165.842), Inggris (157.149), dan Jerman (156.257). Indonesia di urutan 37 dengan korban terpapar 9.511 dan meninggal 773 orang.

Masyarakat Indonesia sebetulnya sama tidak disiplinnya dengan Amerika. Tapi mengapa jumlah korban terpapar hanya 0,95 persen dari Amerika. Ada dua kemungkinan, pertama jumlah masyarakat yang dites Covid-19 masih sedikit sehingga jumlah pasti yang terpapar sulit diketahui. Kedua, posisi geografis Indonesia di wilayah Katulistiwa.

Indonesia berada di sekitar garis katulistiwa dengan kisaran suhu 27-30 derajat celcius dan kelembaban 70-95 persen yang menurut kajianTim Gabungan BMKG-UGM, merupakan wilayah tidak ideal untuk penyebaran Covid-19. Mengutip penelitian Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020), kondisi udara ideal untuk virus corona adalah suhu 8-10° C dan kelembapan 60-90 persen. Itulah kenapa penularan Covid 19 masif di Amerika dan Eropa.

Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo menargetkan kehidupan masyarakat kembali normal pada Juli 2020. Syaratnya: disiplin. Pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, tidak keluar rumah. Tidak perlu sok jagoan seperti Amerika yang akhirnya termakan sendiri oleh ketidakdisiplinannya. China dan Vietnam menjadi contoh konkret bagaimana disiplin dapat ‘mengalahkan’ Corona.

Tapi jangan pula pesan-pesan kedisiplinan itu diselipin dengan kepentingan politis. Contoh terkini adalah Bupati Klaten yang membagikan hand sanitizer dengan stiker bergambar wajahnya, padahal itu bantuan dari Kementerial Sosial. Tindakan tak beradab. Sampaikan pesan kedisiplinan tanpa harus menyelipkan pesan politik.  

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement