Rabu 29 Apr 2020 13:18 WIB

Benarkah Pembagian Sembako di Jakarta Salah Sasaran?

Kesadaran sosial masyarakat kita memang belum merata.

Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4). Pemerintah menyalurkan paket bansos sembako senilai Rp300 ribu yang akan disalurkan dua kali dalam satu bulan selama tiga bulan bertutut-turut untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga miskin dan rentan terdampak Covid-19 di wilayah Jabodetabek
Foto: Prayogi/Republika
Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4). Pemerintah menyalurkan paket bansos sembako senilai Rp300 ribu yang akan disalurkan dua kali dalam satu bulan selama tiga bulan bertutut-turut untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga miskin dan rentan terdampak Covid-19 di wilayah Jabodetabek

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Geisz Chalifah, Pengamat Sosial dan Budaya

Ramai diberitakan bahwa pembagian sembako di DKI Jakarta juga menyasar kepada orang-orang atau masyarakat yang dianggap mampu. Saya teringat pada 2006 ketika saya memulai kegiatan operasi katarak gratis secara bergelombang. Tahun-tahun itu akses pada kesehatan di DKI terbilang masih sulit bagi masyarakat miskin, jaminan kesehatan atau asuransi belum menjangkau warga Jakarta secara menyeluruh.

Untuk mendapat akses operasi katarak gratis saya melakukan kerja sama berbagai lembaga seperti klinik kesehatan Medical Insani. Dari mereka saya mendapat tenaga medis berikut alat untuk mengetahui seseorang memiliki penyakit gula atau darah tinggi. Karena setiap operasi yang akan dilakukan, semuanya harus mendapat tes lab lebih dulu secara gratis.

Lalu untuk operasinya sendiri kita bekerja sama dengan RSCM, terkadang dengan Lions Club juga dengan Dinkes DKI. Dokter mata yg selalu aktif membantu adalah dr Riko dan koleganya dari RS Menteng Medical Afiat.

Bila dengan Dinkes DKI maka salah satu persaratan pasien dapat dioperasi harus mendapat surat keterangan dari lurah setempat atas rekomendasi dari Puskesmas di lingkungan penderita katarak berada. Seringkali pasien yang sudah siap untuk operasi katarak (sudah tes lab) sulit mendapat Surat Keterangan Miskin.

Salah satu hambatan mendapat Surat Keterangan Miskin karena ketika diobservasi, lantai rumahnya berkeramik. Karena alasan itu pasien tersebut dianggap mampu.

Saya kemudian menelusuri kembali pasien-pasien tersebut. Ternyata rumah yang terlihat memadai atau berkeramik tidak menjadi jaminan bahwa dia memiliki dana untuk operasi secara biasa alias berbayar. Saya juga menemukan di beberapa keluarga tersebut tak mampu memberi sekedar uang jajan atau uang transport untuk anaknya ke sekolah.

Jadi masalah kemampuan satu keluarga seringkali tak bisa dilihat dari bangunan rumahnya yang secara kasat mata cukup memadai, namun ternyata secara ekonomi sedang berada dalam keadaan sulit. Bagaimana solusi terhadap masalah ini tentu saja yang pertama adalah kesadaran keluarga yang bila dia memiliki keadaan cukup maka menolak dan memberikan kepada yang lebih berhak. Solusi kedua agak rumit bila harus menyertakan lembaga perbankan untuk mengecek arus keuangan keluarga tersebut.

Kesadaran sosial masyarakat kita memang belum merata. Ada yang tak mau memanfaatkan sembako gratis, tapi banyak juga yang tetap menerima walaupun secara relatif mereka sebenarnya masih mampu untuk mandiri.

Butuh management memvalidasi data secara akurat tentunya oleh para ahli yang saya pribadi tak memahami ilmunya, cerita diatas hanya berdasarkan realitas di lapangan saat saya dan teman-teman mengadakan operasi katarak gratis secara berkelanjutan beberapa tahun lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement