Masyarakat Uganda Khawatir Kelaparan Saat Lockdown

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil

Selasa 28 Apr 2020 12:04 WIB

Selama ini, masyarakat mengharapkan buka puasa bersama di Masjid Nasional Uganda.. Foto: Mati kelaparan/ilustrasi Foto: osocio.org Selama ini, masyarakat mengharapkan buka puasa bersama di Masjid Nasional Uganda.. Foto: Mati kelaparan/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KAMPALA -- Pemberlakuan karantina nasional atau lockdown di Uganda membuat sebagian masyarakat di sana khawatir mati kelaparan. Sejumlah komunitas di ibu kota Uganda, Kampala, menjadi yang paling berdampak karena selama ini mereka bertahan hidup dengan mengikuti agenda buka puasa bersama di masjid nasional.

Stuart Twine, seorang pekerja konstruksi yang tinggal di Kisenyi, daerah kumuh di pinggiran Kampala, mengatakan, ia dan banyak orang lain telah menanti-nanti Ramadhan di masjid untuk bertahan hidup selama pandemi agar kelaparan tidak terjadi lagi. Namun apa yang dia rencanakan tidak akan terjadi karena ada pemberlakuan lockdown.

Baca Juga

"Ini Ramadhan terberat yang kita hadapi. Kita tidak tahu bagaimana kita akan mengatasinya. Lockdown mengeringkan tabungan kita. Kita tidak punya uang dan sekarang kita harus bertahan hidup," kata dia dilansir Anadolu Agency, Selasa (28/4).

Penerapan lockdown di Mengo, pinggiran Kampala, telah membuat Aidah, pedagang buah, dan tiga anaknya menganggur dan kelaparan. Jatah makanan yang dijanjikan pemerintah untuk yang paling rentan belum sampai padanya. Dia pun berupaya menjual televisi tetapi belum berhasil terjual.

"Saya tidak dapat menemukan seseorang untuk membeli televisi saya. Saya perlu menjualnya dan membeli makanan. Aku belum pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya. Kami sedang berpuasa, tetapi kami tidak memiliki cukup makanan. Itu berarti kita harus puas dengan sedikit sekali yang kita miliki," ucapnya.

Juru Bicara Pemerintah Negara Afrika Timur, Ofwono Opondo, mengatakan semua orang yang membutuhkan akan menerima makanan. "Pemerintah melalui dewan lokal mengidentifikasi orang-orang yang rentan yang membutuhkan dukungan, kami mengenal mereka dan kami akan menjangkau mereka semua," kata Opondo.

Namun, seorang anggota parlemen, Ibrahim Semujju Nganda, menuturkan pemerintah tidak mendistribusikan makanan untuk semua orang. Sebab masih banyak orang yang tidak memiliki sesuatu untuk dimakan.

"Bahkan mereka datang ke gerbang kami berharap mendapatkan makanan. Anda mendengar seseorang mengetuk gerbang Anda, Anda pergi untuk melihat siapa itu dan seorang ibu dengan seorang anak yang diikat di punggungnya. Yang dia inginkan hanyalah makanan untuk memberi makan anaknya. Tapi kami juga tidak punya makanan," kata Semujju.

Sopir taksi di Kampala, Karim, mengungkapkan lockdown ini membuat dirinya lebih menderita daripada menghadapi wabah Covid-19. Menurutnya kelaparan adalah ancaman yang lebih cepat daripada virus. "Kelaparan akan membunuh kita, bukan virus corona," kata pria yang berharap bisa berbuka puasa di Masjid Wakiso itu.

Lonjakan harga pangan di Kampala memang belum terjadi. Namun situasi ketahanan pangan telah memburuk secara signifikan, terutama bagi pekerja berupah harian yang berjuang bahkan sebelum pandemi. Mereka tidak memiliki jaring pengaman sosial, dan sebagian besar terjebak di Kampala setelah lockdown tiba-tiba tanpa pemberitahuan.