Senin 27 Apr 2020 17:13 WIB

Harga Bahan Baku Meningkat, Harga Obat Ikut Naik

Harga bahan baku obat naik antara 30-50 persen.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Indira Rezkisari
Pekerja farmasi memproduksi obat di sebuah pabrik farmasi di Jakarta Timur. Kenaikan harga bahan baku akan membuat harga obat ikut naik.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Pekerja farmasi memproduksi obat di sebuah pabrik farmasi di Jakarta Timur. Kenaikan harga bahan baku akan membuat harga obat ikut naik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga bahan baku industri farmasi naii 30-50 persen. Akibat kenaikan harga bahan baku, harga obat disebut Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi akan naik.

GP Farmasi menyatakan, industri farmasi tidak kesulitan mendapatkan bahan baku. Namun terkendala kenaikan harga bahan baku.

Baca Juga

Apalagi ongkos angkut pun ikut naik signifikan. Seperti diketahui sebagian besar bahan baku farmasi di dalam negeri impor.

"Misal, dulu mengangkut bahan baku dari Singapura ke Jakarta biayanya 1.000 dolar AS sekarang bisa 4.000 sampai 5.000 dolar AS. Kalau nggak begitu, nggak tahu kapan barang dibawa karena banyak pesawat sudah nggak beroperasi," jelas Ketua Umum GP Farmasi F Tirto Koesnadi dalam rapat virtual bersama Komisi VI DPR pada Senin, (27/4).

Maka, lanjutnya, harga obat jelas akan naik. Meski begitu, ia memastikan, ketersediaan obat di dalam negeri aman.

"Nggak usah khawatir, cuma ya harga naik. Industri farmasi di Indonesia hanya formulasi, sehingga tergantung bahan bakunya," kata dia.

Pada kesempatan tersebut, Tirto pun menyatakan, logistik industri farmasi harus diberi kemudahan dan tidak boleh dicegat. Ini demi distribusi meratanya distribusi obat ke seluruh kota di Tanah Air.

"Rata-rata industri farmasi dan distribusi ada di kota besar. Sedangkan kebutuhan obat perlu sampai kota kecil," jelasnya.

Direktur Eksekutif GP Farmasi Dorojatun Sanusi menambahkan, industri terus berkomitmen menyediakan obat-obatan di tengah pandemi Covid-19. Namun, ada kendala pada cashflow.

"Jadi masalah ini mohon maaf, kami punya tagihan ke fasilitas kesehatan yang jadi pengguna produk kami. Mereka ada utang sekitar Rp 4 triliun sampai Rp 4,5 triliun belum terbayarkan," ujar dia pada kesempatan serupa.

Ia berharap, setidaknya industri farmasi bisa mendapatkan dua persen dari dana yang disediakan pemerintah untuk menangani Covid-19. Dengan begitu, pelaku industri bisa lebih lancar menyediakan obat-obatan.

"Kami lihat ada pengumuman dana untuk kesehatan dalam rangka tangani Covid-19 sebesar Rp 71 triliun. Maka kami mohon sambil berandai-andai (mendapat) dua persen saja dari pemerintah untuk bantu kehidupan farmasi, sehingga kami lebih mantap sediakan obat," tegasnya.

Semua tergantung kebijakan pemerintah. Dorojatun pun berharap Komisi VI DPR mendukung harapan tersebut supaya industri tidak mati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement