Ahad 26 Apr 2020 16:01 WIB

Indef Minta Agar Kebijakan Pemerintah tidak Membingungkan Pu

Kebijakan publik harus dikonseptualisasikan secara jelas dan detil.

Petugas gabungan meminta seorang pengendara yang tidak menggunakan masker untuk berputar balik saat akan melewati pos pemeriksaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di perbatasan Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan, Jumat (24/4/2020). Penerapan PSBB di Makassar yang diberlakukan mulai hari ini tersebut masih ditemukan sejumlah pelanggaran seperti kesadaran warga yang tidak menggunakan masker.
Foto: ANTARA/Abriawan Abhe
Petugas gabungan meminta seorang pengendara yang tidak menggunakan masker untuk berputar balik saat akan melewati pos pemeriksaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di perbatasan Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan, Jumat (24/4/2020). Penerapan PSBB di Makassar yang diberlakukan mulai hari ini tersebut masih ditemukan sejumlah pelanggaran seperti kesadaran warga yang tidak menggunakan masker.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah untuk tidak membuat kebingungan di publik saat mengeluarkan kebijakan. Terutama kebijakan terkait pandemi Covid-19.

"Suatu kebijakan publik berpotensi gagal apabila kebijakan tersebut tidak dipahami oleh masyarakat luas," ujar ekonom senior Indef Didik J Rachbini dalam diskusi daring di Jakarta, Ahad (26/4).

Baca Juga

Secara teoritis, lanjut dia, kebijakan publik harus dikonseptualisasikan secara jelas dan detail, yang kemudian disosialisasikan sebagai tahap paling awal dari kebijakan publik itu.

"Tahap awal ini tidak sempurna dijalankan sehingga terjadi kebingungan publik. Kondisi itu membuat sentimen negatif di masyarakat terhadap pemerintah," katanya.

Ia menyampaikan bahwa pada periode 27 Maret-9 April, terkumpul sebanyak 248 ribu percakapan di media sosial, dengan mayoritas publik warganet membicarakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ia mengemukakan dari jumlah percakapan itu, masalah dan isu tentang PSBB tidak kurang dari 171 ribu perbincangan. "Analisis sentimen terhadap isu itu sekitar 79 persen negatif, sisanya 21 persen positif," paparnya.

Ia mengatakan sentimen negatif karena pemahaman publik terhadapnya tidak memadai. Selain itu, juga terjadi simpang siur antara peranan pemerintah pusat dan daerah, itu menjadi aspek-aspek yang menjadikan sentimen terhadap kebijakan PSBB menjadi negatif.

Masih berkaitan erat dengan kebijakan PSBB, Didik mengatakan, aturan boleh atau tidak mudik merupakan percakapan yang juga cukup besar jumlahnya, yakni sebanyak 44,879 percakapan. Percakapan tentang mudik ini mendapat sentimen negatif 54 persen, sisanya 46 persen mendapat sentimen positif.

"Karena erat dengan penyebaran Covid-19, isu mudik mendapat perhatian masyarakat sangat besar. Itu berarti publik warganet memperhatikan meski khawatir karena pemerintah dianggap tidak tegas," katanya.

Ketidaktegasan pemerintah, menurut dia, karena adanya perbedaan pendapat di kalangan pejabat. Pada satu sisi, juru bicara presiden mengatakan boleh mudik asal karantina diri, tetapi kemudian dibantah oleh sekretaris kabinet mudik tidak boleh.

Di sisi lain, kata Didik, mudik sudah dilarang tetapi Presiden membuat pernyataan bahwa boleh pulang kampung. "Ini diperkirakan menjadi lelucon lanjutan dari kebijakan pemerintah yang mendapat tanggapan sentimen negatif secara keseluruhan," paparnya.

Dalam bidang ekonomi, lanjut Didik, perbincangan tentang kartu pra kerja juga belum menunjukkan sentimen positif akibat adanya kehebohan dari staf khusus presiden. Namun, dipaparkan, terdapat juga pernyataan positif dari warganet tentang kartu pra kerja, yakni dapat membuat kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement