Sabtu 25 Apr 2020 21:30 WIB

Muslim Dunia Memulai Ramadhan dengan Suasana Lockdown

Ramadhan tahun ini diwarnai covid-19.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Muhammad Hafil
Muslim Dunia Memulai Ramadhan dengan Suasana <em>Lockdown</em>. Foto: Ilustrasi Ramadhan
Foto: Pixabay
Muslim Dunia Memulai Ramadhan dengan Suasana Lockdown. Foto: Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslim di seluruh dunia mulai menandai bulan suci Ramadhan pasa tahun ini di tengah pandemi Covid-19. Beberapa masyarakat muslim bahkan menjalani puasa Ramadhan di tengah kondisi negara yang sedang menjalankan lockdown, menutup semua akses ibadah demi pencegahan penularan Covid-19.

Mengutip dari AFP, di AS sebagian besar muslim disana menjalankan ibadah di rumah masing-masing saat dimulainya Ramadhan pada Jumat (24/4) ini. Waktu yang sama ketika pemerintahan Trump pada Jumat menambahkan paket bantuan ekojomi setengah triliun dolar AS, untuk memulihkan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.

Baca Juga

Virus ini memang telah menjungkirbalikkan kehidupan di seluruh dunia dan memukul semua sendi ekonomi global. Berbagai negara telah berusaha keras menghentikan penyebaran Covid-19, yang sejauh ini telah merenggut hampir 190.000 nyawa, menginfeksi hampir 2,7 juta orang.

Suasana Ramadhan tahun ini pun telah tenggelam oleh pembatasan gerakan ratusan juta muslim dunia dari Asia Tenggara ke Timur Tengah dan Afrika. Dimana jutaan muslim dihimbau tidak melaksanakan sholat di masjid-masjid di keramaian, dan menghindari pertemuan besar keluarga dan teman untuk berbuka puasa setiap hari. Padahal semua itulah yang telah menjadi kemeriahan setiap pelaksanaan bulan suci Ramadhan.

Namun terlepas dari ancaman coronavirus dan imbauan pencegahan tersebut, ternyata masih ada ulama dari kelompok konservatif di banyak negara berpenduduk mayoritas muslim yang mengabaikan berdiam diri di rumah. Beberapa kelompok konservatif itu termasuk di Bangladesh, Pakistan dan Indonesia.

Negara-negata mayoritas berpenduduk muslim itu dijumpai beberapa kelompok yang menolak himbauan ini. Mereka tidak menghentikan berbagai ibadah dan pertemuan secara keramaian di berbagai masjid. Seperti di Aceh, ribuan orang tetap menghadiri shalat trawih berjamaah pada Kamis (23/4) malam di masjid terbesar di Banda Aceh. Hal serupa terjadi di Pakistan dan Bangladesh.

Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyerukan penghentian beberapa kegiatan Ramadhan untuk menurunkan risiko infeksi. Dan pemerintah serta pihak berwenang di beberapa negara muslim secara eksplisit juga memperingatkan ancaman dari ibadah besar keagamaan dengan keramaian.

Di mana WHO mencatat, sudah ada ledakan kasus coronavirus dari tiga jemaat Islam (Jamaah Tablig) terpisah di berbagai negara, seperti di Malaysia, Pakistan dan India, sejak virus tersebut pertama kali muncul akhir tahun lalu di China. Langkah-langkah mengantisipasi dampak ekonomi yang parah dari pandemi juga dilakukan, dengan berbagai kegiatan amal selama Ramadhan, terutama distribusi makanan dan sumbangan lainnya.

Seorang pria Palestina, Salah Jibril telah menganggur akibat pandemi ini. Ia tinggal tinggal bersama istri dan enam anaknya di sebuah apartemen dua kamar tidur yang sempit di Jalur Gaza. Salah mengatakan ia tidak yakin bagaimana keluarganya akan bertahan tanpa sumbangan selama Ramadhan ini.

"Pasar dan masjid ditutup. Orang-orang baik yang memberi kami uang atau bantuan setiap Ramadhan menghadapi situasi sulit. Ini Ramadhan terberat yang kita hadapi. Kita tidak tahu bagaimana kita akan menghadapinya," katanya.

Kehancuran ekonomi yang diakibatkan oleh Lockdown di berbagai negara telah membuat separuh dari planet ini menghadapi penurunan terburuk sejak Depresi Hebat. Anggota parlemen AS menutupi wajah mereka dengan topeng saat memberikan suara dalam kelompok kecil untuk menyetujui rencana stimulus 483 miliar dolar AS, di atas paket 2,2 triliun dolar AS yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Trump.

Uang itu akan digunakan untuk mendukung bisnis kecil dari ambang kebangkrutan, serta membantu operasional rumah sakit yang sulit karena ekonomi Amerika tidak berputar, dengan lebih dari 26 juta orang kehilangan pekerjaan sejak pandemi melanda.

Amerika Serikat sekarang adalah negara yang terkena dampak terburuk di dunia, dengan sekitar 50.000 kematian akibat virus korona. Di Eropa, para pemimpin tawar-menawar melalui konferensi video atas paket mereka sendiri yang bisa mencapai satu triliun euro, karena kepala Bank Sentral Eropa memperingatkan risiko bila "bertindak terlalu sedikit, atau terlalu terlambat".

"Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara sepakat untuk meminta blok bantuan eksekutif untuk membuat rencana penyelamatan sebelum 6 Mei," kata sumber-sumber kepada AFP.

Perdebatan ekonomi krusial terjadi ketika bagian-bagian Eropa perlahan melonggarkan pembatasan, setelah terjadi progress yang mampu mengurangi jumlah infeksi baru. Tetapi para ahli telah memperingatkan kemungkinan kasus Covid-19 gelombang kedua terjadi, dan pihak berwenang harus meningkatkan kapasitas mereka untuk menghadapinya. Seperti di Jerman, di mana pembatasan pada kehidupan publik telah pulih baru-baru ini.

Ahli virologi Christian Drosten dari rumah sakit Charite di Berlin memperingatkan bahwa coronavirus dapat kembali dengan 'kekuatan yang sama sekali berbeda'. "Virus itu akan terus menyebar dalam minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang," kata Drosten kepada penyiar publik NDR. Ia juga seraya menambahkan bahwa virus itu akan muncul "di mana-mana pada waktu yang bersamaan".

Sementara itu, beberapa negara mulai berlomba, membuat dan menyediakan vaksin Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia telah memperingatkan bahwa tindakan tegas harus tetap dilakukan sampai ada pengobatan atau vaksin yang layak.

Perlombaan ini terjadi di seluruh dunia untuk mengembangkan satu vaksin Covid-19, dimana University of Oxford mengklaim telah meluncurkan percobaan ke manusia untuk vaksin potensial pada hari Kamis. Jerman mengumumkan uji coba serupa akan dimulai minggu depan.

Dalam sebuah pengarahan di Gedung Putih, para ilmuwan mengatakan mereka telah menemukan bahwa virus itu dengan cepat dihancurkan oleh sinar matahari. Hal ini meningkatkan harapan bahwa pandemi bisa mereda ketika musim panas di belahan bumi utara mendekat.

"Pengamatan kami yang paling mencolok hingga saat ini adalah efek kuat yang dimiliki cahaya matahari untuk membunuh virus, baik permukaan maupun di udara," kata William Bryan, penasihat sains dan teknologi untuk sekretaris Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.

Temuan mereka, bagaimanapun, belum dirilis dan karenanya belum ditinjau oleh para ahli independen. Upaya pengembangan yang cepat sebagian ke sejumlah besar pasien yang telah membanjiri sistem perawatan kesehatan di negara maju dan di negara-negara miskin.

Di Brasil, di mana unit perawatan intensif di rumah sakit telah terdampak, Dr Fernanda Gulinelli mengatakan ini adalah bab baru dalam dunia kedokteran yang harus kami tulis saat ini. "Dan kami tidak tahu apa kondisi selanjutnya yang akan terjadi," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement