Sabtu 25 Apr 2020 13:09 WIB

Guru Besar UAI Minta Pembahasan RUU Ciptaker Harus Dikawal

meminta DPR untuk bersikap terbuka terhadap berbagai masukan

Agus Surono, guru besar UAI
Foto: istimewa
Agus Surono, guru besar UAI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Agus Surono, menegaskan ada sejumlah pasal di dalam RUU Cipta Kerja (ciptaker) yang harus dikawal pembahasannya secara kritis.  Ia pun meminta DPR untuk bersikap terbuka terhadap berbagai masukan agar pasal-pasal yang dianggap berpotensi merugikan pihak tertentu atau menimbulkan masalah, dapat diperbaiki.

‘’Misalnya pasal-pasal yang terkait kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara di pasal 169A dan turunannya. Ini harus diperbaiki saya kira," kata Agus yang juga menjadi wakil rektor UAI dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (25/4).

"Karena kalau disebutkan perpanjangan dengan perizinan berusaha, sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang dengan mempertimbangkan penambahan nilai tambah (PNT), itu bahaya juga,’’ sambungnya lagi.

Agus menyampaikan hal tersebut dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) secara virtual. Diskusi ini menghadirkan juga pembicara Rektor UAI Asep Saefuddin.

Asep menyadari saat ini fokus pemerintah dan DPR tertuju pada masalah Covid-19. Namun bukan berarti pembahasan ini secara terbuka menjadi terlupakan.

“Tujuannya agar lebih banyak lagi orang paham dan juga masalah-masalah yang muncul dari RUU bisa diperbaiki dengan mengedepankan kepentingan rakyat,’’ kata Asep Saefudin yang juga profesor Statistik Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dalam diskusi yang bertema ‘’Mengenal Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Urgensi, Masalah dan Keberimbangan Informasi Tentangnya’’ ini, Asep menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja digagas antara lain untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan menghidupkan dunia usaha. Karena itu dibutuhkan pemikian jernih, obyektif dan netral dalam membahasnya.

‘’Kita tidak bicara politiknya, sebagai akademisi melihatnya dari perspektif yang jernih. Bahwa ada yang tidak setuju, ada juga yang sebaliknya. Maka sebaiknya dibahas secara detail, komprehensif hingga celah persoalannya hilang atau minimal. Kalau diangap ada bagian yang keliru, diberi masukan lalu diperbaiki,’’ kata anggota Dewan Etik Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (Persepi) itu.

Agus menambahkan Omnibus Law merupakan peraturan perundangan yang mengandung lebih dari satu muatan pengaturan. Karena itu sifatnya multi sektor, terdiri dari banyak pasal, mandiri terikat atau minimum terikat dengan peraturan lain serta menegasikan, atau mencabut sebagian dan atau keseluruhan peraturan lain.

“Di sinilah pentingnya perhatian semua pihak,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement