Kepala BPIP: Puasa Membangun Peradaban

Red: Ratna Puspita

Sabtu 25 Apr 2020 02:22 WIB

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi Foto: Antara/Dhemas Reviyanto Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menjelaskan beribadah puasa tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan. Puasa memiliki manfaat dalam banyak aspek bisa dimaknai sebagai bagian dari membangun peradaban.

"Hikmah puasa ini banyak sekali, dari media banyak, kesehatan, dan seterusnya. Puasa itu menahan diri, 'al imsaku' artinya menahan diri, intinya 'self control'," katanya di Jakarta, Jumat (24/4).

Baca Juga

Hal tersebut disampaikan pada kegiatan Jumat Bersama BPIP bertema "Puasa = Membangun Peradaban" yang dilakukan secara virtual dengan moderator Direktur Pengkajian Materi BPIP Muhammad Sabri. Yudian mengatakan berpuasa bisa bermakna membangun peradaban jika kemampuan menahan diri mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

"Self control", kata dia. 

Ia menambahkan kemampuan manusia mengendalikan diri seolah-olah selalu diawasi oleh Allah SWT, sebagaimana orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. "Mampu menahan diri untuk tidak melanggar aturan, misalnya pejabat mampu menahan diri untuk tidak korupsi. Jika dikalikan, misalnya 1.000 atau 100 ribu pejabat mampu tidak korupsi," katanya.

Bahkan, kata Yudian, hikmah puasa dalam membangun peradaban tersebut bisa dikaitkan dengan tradisi mudik masyarakat setiap Lebaran. Ia mengatakan tradisi mudik Lebaran mampu menggerakkan berbagai sektor, khususnya ekonomi dengan pergerakan masyarakat dari kota ke desa.

Namun, kata dia, kondisi sekarang ini berbeda karena Indonesia tengah menghadapi pandemi COVID-19 yang akhirnya membuat pemerintah membuat kebijakan yang melarang masyarakat mudik.

Apalagi, ia mengatakan bahwa pandemi COVID-19 sedemikian serius, sebab belum pernah ada dalam sejarah, virusnya tidak terlihat, dan sudah memakan banyak korban sehingga harus diputus mata rantai penyebarannya.

"Kalau dalam konteks hukum Islam, mana yg harus didahulukan? Menyelamatkan jiwa, yakni tidak mudik untuk memutus COVID-19, daripada harta, maksudnya ekonomi tadi dan pengampunan sosial. Ini bukan dalam situasi normal, apalagi ideal," katanya.

Karena itu, Yudian mengatakan masyarakat, khususnya umat Islam, semestinya bisa menerapkan makna puasa, yakni menahan diri dengan tidak mudik. Dengan menahan diri untuk tidak mudik sekarang ini, katanya, sebenarnya masyarakat juga membangun peradaban.

Namun, secara terbalik dengan tradisi mudik sebelumnya. "Kalau dulu dengan berbondong-bondong ke kampung halaman sehingga tercipta peningkatan ekonomi, 'income' negara, dan sebagainya, sekarang dengan cara pasif kita bisa membangun perabadan. Maksudnya, dengan tidak menghancurkannya, yakni dengan tidak mudik," kata Yudian.