Sabtu 25 Apr 2020 04:31 WIB

Cerita Ramadhan di Tengah Lockdown Berbagai Negara

Sebagian warga Muslim mengabaikan imbauan ibadah dari rumah saat Ramadhan.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nur Aini
Sejumlah jamaah melaksanakan shalat dengan menerapkan jarak sosial untuk membantu menghindari penyebaran virus Corona di Karachi, Pakistan, Ahad (19/4). Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menyetujui tuntutan para pemimpin agama dan setuju untuk menjaga masjid tetap terbuka selama bulan puasa Ramadhan.
Foto: AP / Fareed Khan
Sejumlah jamaah melaksanakan shalat dengan menerapkan jarak sosial untuk membantu menghindari penyebaran virus Corona di Karachi, Pakistan, Ahad (19/4). Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menyetujui tuntutan para pemimpin agama dan setuju untuk menjaga masjid tetap terbuka selama bulan puasa Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslim di seluruh dunia mulai menandai bulan suci Ramadhan pada tahun ini di tengah pandemi Covid-19. Beberapa masyarakat muslim bahkan menjalani puasa Ramadhan di tengah kondisi negara yang sedang menjalankan lockdown, menutup semua akses ibadah demi pencegahan penularan Covid-19.

Mengutip dari AFP, sebagian besar muslim di AS menjalankan ibadah di rumah masing-masing saat dimulainya Ramadhan pada Jumat (24/4) ini. Di saat yang bersamaan, pemerintahan Trump pada Jumat menambah paket bantuan ekonomi setengah triliun dolar AS, untuk memulihkan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.

Baca Juga

Virus corona memang telah menjungkirbalikkan kehidupan di seluruh dunia dan memukul semua sendi ekonomi global. Berbagai negara telah berusaha keras menghentikan penyebaran Covid-19, yang sejauh ini telah merenggut hampir 190.000 nyawa, menginfeksi hampir 2,7 juta orang.

Suasana Ramadhan tahun ini pun telah tenggelam oleh pembatasan gerakan ratusan juta muslim dunia dari Asia Tenggara ke Timur Tengah dan Afrika. Jutaan muslim diimbau tidak melaksanakan sholat di masjid-masjid di keramaian, dan menghindari pertemuan besar keluarga dan teman untuk berbuka puasa setiap hari. Padahal semua itulah yang telah menjadi kemeriahan setiap pelaksanaan bulan suci Ramadhan.

Namun, terlepas dari ancaman virus corona dan imbauan pencegahan tersebut, ternyata masih ada ulama dari kelompok konservatif di banyak negara berpenduduk mayoritas muslim yang mengabaikan imbauan berdiam diri di rumah. Beberapa kelompok konservatif itu termasuk di Bangladesh, Pakistan, dan Indonesia.

Negara-negara mayoritas berpenduduk muslim itu dijumpai beberapa kelompok yang menolak imbauan tetap di rumah. Mereka tidak menghentikan berbagai ibadah dan  keramaian di berbagai masjid. Seperti di Aceh, ribuan orang tetap menghadiri shalat tarawih berjamaah pada Kamis (23/4) malam di masjid terbesar di Banda Aceh. Hal serupa terjadi di Pakistan dan Bangladesh.

Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyerukan penghentian beberapa kegiatan Ramadhan untuk menurunkan risiko infeksi. Pemerintah serta pihak berwenang di beberapa negara muslim secara eksplisit juga memperingatkan ancaman dari ibadah besar keagamaan dengan keramaian.

WHO mencatat, sudah ada ledakan kasus virus corona dari tiga jemaat Islam (Jamaah Tablig) terpisah di berbagai negara, seperti di Malaysia, Pakistan, dan India, sejak virus tersebut pertama kali muncul akhir tahun lalu di China. Langkah-langkah mengantisipasi dampak ekonomi yang parah dari pandemi juga dilakukan, dengan berbagai kegiatan amal selama Ramadhan, terutama distribusi makanan dan sumbangan lainnya.

Seorang pria Palestina, Salah Jibril telah menganggur akibat pandemi Covid-19. Ia tinggal tinggal bersama istri dan enam anaknya di sebuah apartemen dua kamar tidur yang sempit di Jalur Gaza. Salah mengatakan ia tidak yakin bagaimana keluarganya akan bertahan tanpa sumbangan selama Ramadhan ini.

"Pasar dan masjid ditutup. Orang-orang baik yang memberi kami uang atau bantuan setiap Ramadan menghadapi situasi sulit. Ini Ramadhan terberat yang kita hadapi. Kita tidak tahu bagaimana kita akan menghadapinya," katanya.

Kehancuran ekonomi yang diakibatkan oleh lockdown di berbagai negara telah membuat separuh dari planet ini menghadapi penurunan terburuk. Anggota parlemen AS menutupi wajah mereka dengan masker saat memberikan suara dalam kelompok kecil untuk menyetujui rencana stimulus 483 miliar dolar AS, di atas paket 2,2 triliun dolar AS yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Trump. Dana itu akan digunakan untuk mendukung bisnis kecil dari ambang kebangkrutan, serta membantu operasional rumah sakit yang sulit karena ekonomi Amerika tidak berputar, dengan lebih dari 26 juta orang kehilangan pekerjaan sejak pandemi melanda.

Amerika Serikat sekarang adalah negara yang terkena dampak terburuk di dunia, dengan sekitar 50.000 kematian akibat virus corona. Di Eropa, para pemimpin tawar-menawar melalui konferensi video atas paket mereka sendiri yang bisa mencapai satu triliun euro, karena kepala Bank Sentral Eropa memperingatkan risiko bila "bertindak terlalu sedikit, atau terlalu terlambat".

"Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara sepakat untuk meminta blok bantuan eksekutif untuk membuat rencana penyelamatan sebelum 6 Mei," kata sumber-sumber kepada AFP.

Perdebatan ekonomi krusial terjadi ketika bagian-bagian Eropa perlahan melonggarkan pembatasan, setelah terjadi progress yang mampu mengurangi jumlah infeksi baru. Tetapi para ahli telah memperingatkan kemungkinan kasus Covid-19 gelombang kedua terjadi, dan pihak berwenang harus meningkatkan kapasitas mereka untuk menghadapinya. Seperti di Jerman, di mana pembatasan pada kehidupan publik telah pulih baru-baru ini.

Ahli virologi Christian Drosten dari rumah sakit Charite di Berlin memperingatkan bahwa virus corona dapat kembali dengan 'kekuatan yang sama sekali berbeda'. "Virus itu akan terus menyebar dalam minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang," kata Drosten kepada penyiar publik NDR. Ia juga seraya menambahkan bahwa virus itu akan muncul "di mana-mana pada waktu yang bersamaan".

Sementara itu, beberapa negara mulai berlomba, membuat dan menyediakan vaksin Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia telah memperingatkan bahwa tindakan tegas harus tetap dilakukan sampai ada pengobatan atau vaksin yang layak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement