Jumat 24 Apr 2020 15:02 WIB

Sholat Tarawih Berjamaah Bisa Timbulkan Masalah Baru

MUI dan ulama sepakat menghindari dulu sholat Tarawih di masjid saat pandemi corona.

Suasana Masjid Al-Markaz Al-Islami yang biasanya ramai saat pelaksanaan shalat tarawih terlihat sepi di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/4/2020) malam. Guna memutus rantai penyebaran COVID-19, pengurus masjid tersebut meniadakan aktivitas beribadah termasuk pelaksanaan shalat tarawih seiring ditetapkannya 1 Ramadhan 1441 Hijriah yang jatuh pada Jumat, 24 April 2020 oleh pemerintah
Foto: ARNAS PADDA/ANTARA
Suasana Masjid Al-Markaz Al-Islami yang biasanya ramai saat pelaksanaan shalat tarawih terlihat sepi di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/4/2020) malam. Guna memutus rantai penyebaran COVID-19, pengurus masjid tersebut meniadakan aktivitas beribadah termasuk pelaksanaan shalat tarawih seiring ditetapkannya 1 Ramadhan 1441 Hijriah yang jatuh pada Jumat, 24 April 2020 oleh pemerintah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rossi Handayani, Imas Damayanti, Rr Laeny Sulistyawati

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait ibadah selama pandemi Covid-19 (virus corona), termasuk meminta umat Islam sholat Tarawih di rumah. Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi mengatakan masyarakat diminta tidak menimbulkan masalah baru.

Baca Juga

"Di wilayah yang tidak terkendali seharusnya jangan timbulkan masalah baru. Nanti bisa terjadi penularan, apalagi Tarawih berjamaah," kata Muhyiddin, Jumat (24/4).

Muhyiddin menjelaskan, dalam fatwa MUI itu disebutkan dua kriteria wilayah, yaitu wilayah yang terkendali dan tidak terkendali. Di wilayah yang terkendali, yang tidak ada orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang yang positif terinfeksi Covid-19 (virus corona), semua kegiatan dilakukan sebagaimana biasanya atau normal. Meskipun terkendali, Muhyiddin mengatakan, masyarakat harus tetap berhati-hati dalam melakukan kegiatan.

Sementara itu, di wilayah yang tidak terkendali, masyarakat diminta untuk tetap di rumah saja dan menghindari kerumunan ataupun sholat berjamaah. Namun, semenjak sholat Tarawih dimulai pada Kamis (23/4) malam, masih ada masyarakat di wilayah yang tidak terkendali tetap melaksanakan sholat Tarawih berjamaah di mushala.

"Masyarakat tidak bisa disuruh A-A, B-B, masing-masing punya keinginan sendiri. Mereka harus tahu fatwa itu untuk proteksi, menjaga dari penyakit, jangan disalahpahami," kata Muhyiddin.

Muhyiddin mengungkapkan, meskipun masih ada masyarakat yang tetap melaksanakan sholat Tarawih berjamaah, mereka tidak perlu mendapatkan hukuman. Namun, mereka diminta untuk memiliki kesadaran diri agar menghindari kerumunan. Hal ini dilakukan untuk menekan penyebaran virus corona.

Imbauan MUI agar umat Islam menggelar sholat Tarawih di rumah memang belum sepenuhnya dipatuhi. Masih ada sejumlah masjid yang kemarin malam menggelar sholat Tarawih.

Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah Abdul Mukti mengaku prihatin dengan adanya sebagian umat Islam yang memaksakan diri melaksanakan sholat Tarawih di masjid atau mushala. "Saya prihatin masih ada yang memaksakan diri sholat Tarawih di masjid meski jumlah mereka sedikit,” kata Abdul Mukti saat dihubungi Republika, Jumat (24/4).

Dia menjelaskan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa masih ada umat Islam yang melaksanakan sholat Tarawih di luar rumah. Pertama, kata dia, mereka merasa berada di zona hijau atau zona aman pandemi virus corona (Covid-19).

Kedua, dia menambahkan, mereka memahami dan mengikuti fatwa MUI yang menyatakan bahwa di zona aman boleh melaksanakan ibadah sebagaimana biasanya. Ketiga, mereka melaksanakan (sholat Tarawih di masjid maupun mushala) dengan mematuhi protokol kesehatan dan social distancing.

Meski demikian, dia menegaskan, pelaksanaan sholat Tarawih berjamaah di masjid maupun mushala tetap berisiko. Pasalnya, penyebaran virus sudah sangat meluas sehingga tidak seharusnya masyarakat membuat penilaian sendiri. "Tetap berisiko karena penyebaran Covid-19 sudah meluas,” ungkapnya.

Di sisi lain, dia menggarisbawahi masih banyak umat Islam yang belum mengenali perbedaan antara ibadah yang sesuai syariat dan ibadah yang merupakan adat. Menurut dia, sholat Tarawih sangat bisa dilaksanakan di rumah dan juga bisa dilaksanakan di masjid maupun mushala (dalam kondisi normal).

Bahkan, menurut riwayat Nabi Muhammad SAW, dia menjelaskan, Rasulullah lebih banyak melaksanakan sholat Tarawih di rumah daripada di masjid. Di dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah perihal Rasulullah yang kerap menunaikan sholat Tarawih di rumah.

Haditsnya berbunyi, “An Aisyah anna Rasululallah SAW fil-masjidi dzata lailatin fashala bishalatihi nasun tsumma shalla minalpqabilati fakatsura an-nasu tsumma-jtama’uu minal-lailati as-tsalisati aw ar-rabiat falam yakhruj ilaihim Rasulullah SAW falamma ashbaha qala qad roaitu alladzi shona’tum falam yamna’ni minal-khuruji ilaikum illa anni khasyitu an tufrodho alaikum.”

Yang artinya, “Dari Asiyah, Rasulullah SAW melakukan sholat (Tarawih) di masjid pada suatu malam. Orang-orang bermakmum kepadanya. Malam berikutnya, Rasulullah SAW kembali sholat Tarawih dan jamaahnya makin banyak. Pada malam ketiga atau keempat, jamaah telah berkumpul (kembali), tetapi Rasulullah SAW tidak keluar rumah. Ketika pagi Rasulullah berkata: aku melihat apa yang kalian perbuat. Aku pun tidak ada uzur yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, tetapi aku khawatir (sholat Tarawih) diwajibkan (dihukumi wajib berjamaah di masjid).”

Dari sisi bahasa pun, makna tarawih bisa diartikan sebagai 'istirahat'. Artinya, ibadah ini dapat dilaksanakan tidak dengan tergesa-gesa, santai, dan untuk merelaksasi tubuh dengan cara bersujud beribadah. Rasulullah sengaja pernah melakukan sholat Tarawih di rumah untuk membaca bacaan surat panjang.

Pasalnya, jika membaca bacaan surat panjang dalam sholat berjamaah pada Tarawih dilakukan, Rasulullah khawatir tak semua jamaah memiliki kemampuan fisik yang prima. Itulah sisi lain alasan mengapa Rasulullah SAW melaksanakan Tarawih di rumah.

Ulama Quraish Shihab menegaskan, ibadah sholat Tarawih di masjid yang dijalankan selama bulan Ramadhan khusus tahun ini mendapatkan hukum mendekati haram atau minimal makruh. Pasalnya, ibadah ini sangat berpotensi menyebabkan umat Muslim terinfeksi virus corona.

Quraish menyebutkan, sholat Tarawih di masjid selama Ramadhan 1441 Hijriyah bisa menjadi masalah. Ia menjelaskan, pandemi virus corona membuat ahli mengkhawatirkan jamaah yang menjalin erat kontak saat sholat Tarawih di masjid bisa terjangkit virus ini. Padahal, dia melanjutkan, memelihara dan menjaga kesehatan merupakan kewajiban individu.

Ia menyebutkan, ada banyak kegiatan positif lain yang juga ibadah dan bisa dilaksanakan di rumah. Misalnya, menyedekahkan barang hingga pakaian di lemari yang sudah tidak terpakai maka itu juga ibadah. Ia menyebutkan, ada lebih dari 60 cabang dalam iman. Ia menyebutkan, iman yang paling tinggi adalah mengakui keesaan Allah SWT, sementara paling rendah menyingkirkan duri dan kotoran.

"Itu bisa dilaksanakan di mana saja, kapan saja. Kita bisa menggabung yang dianjurkan dan dilarang tanpa mengurangi makna ibadah sedikit pun," katanya.

Fatwa Pandemi MUI

MUI telah mengeluarkan fatwa yang memerinci perihal pandemi Covid-19. Fatwa tersebut dikeluarkan pada Maret lalu nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadinya Covid-19. Terdapat sejumlah fatwa yang terlah dikeluarkan. Fatwa pertama, setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama.

Fatwa kedua, orang yang telah terpapar virus corona wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya, sholat Jumat dapat diganti dengan sholat Zhuhur di tempat kediaman karena sholat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.

Fatwa ketiga, orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19 harus memperhatikan dua hal. Pertama, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka boleh meninggalkan sholat Jumat dan menggantikannya dengan sholat Zhuhur di tempat kediaman serta meninggalkan jamaah sholat lima waktu atau rawatib, Tarawih, dan Id di masjid atau tempat umum lainnya.

Kedua, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, atau cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.

Fatwa keempat, dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan sholat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan sholat Zhuhur di tempat masing-masing.

Demikian juga umat Islam tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah sholat lima waktu, sholat Tarawih dan Id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

Fatwa kelima, dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan sholat Jumat. Fatwa keenam, pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib menaatinya.

Fatwa ketujuh, pengurusan jenazah yang terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengafani, harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sementara itu, untuk mensholatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.

Fatwa kedelapan, umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, tobat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta'ala agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya, khususnya dari wabah Covid-19.

Fatwa kesembilan, tindakan yang menimbulkan kepanikan dan atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker, hukumnya haram.

photo
Dasar hukum puasa Ramadhan - (Pusat Data Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement