Jumat 24 Apr 2020 11:19 WIB

Perdebatan Soal Pluto yang tak Kunjung Selesai

Lebih dari 75 tahun, Pluto dipandang sebagai planet oleh komunitas ilmiah sampai 2006

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Foto permukaan Pluto yang tampak seperti bekas robekan.
Foto: AP
Foto permukaan Pluto yang tampak seperti bekas robekan.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Hingga saat ini ilmuwan terus memperdebatkan mengenai Pluto. Apakah Pluto itu planet atau planet kerdil adalah pertanyaan yang terus diperdebatkan.

Data terbaru menunjukkan bahwa Pluto memiliki atmosfer, pegunungan, inti, dan mungkin laut dalam. Selain itu, Pluto memiliki bulannya sendiri, Charon selebar 750 mil.

Baca Juga

Sebelumnya kita diajari bahwa tata surya kita memiliki sembilan planet.  Kemudian pada bulan Agustus 2006, badan pemerintahan astronomi tiba-tiba berbalik arah dan mengumumkan bahwa sekarang kita hanya memiliki delapan planet. Pluto dihilangkan dari susunan planet tata surya,

Penurunan pangkat Pluto dari Serikat Astronomi Internasional (IAU) untuk status planet kerdil sangat sulit diterima bagi banyak orang. Selama lebih dari 75 tahun, Pluto dipandang sebagai sebuah planet dalam komunitas ilmiah. Bahkan dengan keputusan badan pengatur, beberapa ilmuwan masih bersikeras Pluto layak mendapatkan status planet yang lengkap.

Mungkin yang terbaik adalah menganalisis mengapa Pluto, yang ditemukan pada 1930 oleh Clyde Tombaugh, diturunkan peringkatnya sejak awal.

Dilansir di National Interest, Jumat (24/4) dijelaskan, Pluto, bola berbatu selebar 1.500 mil yang mengelilingi matahari sekali setiap 248 tahun, memiliki orbit yang terletak di dalam Sabuk Kuiper, cincin benda berbatu dan dingin di luar orbit Neptunus.

Bagi para peneliti di IAU, Pluto jelas memiliki lebih banyak kesamaan dengan dunia yang sebagian besar kecil dan jauh ini daripada planet-planet nyata seperti Bumi dan Jupiter.

Pada tahun 2006, IAU yang berbasis di Paris mengajukan definisi baru dari kata 'planet.' Menurut definisi itu, sebuah planet adalah benda langit yang mengorbit matahari, memiliki gravitasi yang cukup untuk mengasumsikan bentuk bulat bola, dan telah berhasil membersihkan dari jalur orbitnya setiap potongan kecil puing.

Pluto memenuhi dua syarat pertama, tetapi tidak yang ketiga. Karena itu, IAU memutuskan untuk mereklasifikasi Pluto.

Setelah status Pluto yang tiba-tiba berubah, ratusan astronom dan ilmuwan mengajukan petisi untuk membatalkan putusan tersebut. Mereka berargumen, misalnya, bahwa planet "nyata" seperti Bumi, Mars, dan Yupiter juga gagal untuk membersihkan puing-puing dari orbitnya masing-masing, karena pada kenyataannya masih banyak asteroid yang masih ada di wilayah tersebut.

Data terbaru juga menunjukkan bahwa Pluto memiliki atmosfer, pegunungan, inti, dan mungkin laut dalam. Selain itu, Pluto memiliki bulannya sendiri, Charon selebar 750 mil.

Para kritikus juga menunjukkan bahwa kurang dari 5 persen dari 10 ribu astronom dunia berpartisipasi dalam pemungutan suara.

Di sisi lain dari kesenjangan Pluto adalah Mike Brown, seorang astronom di California Institute of Technology.  Dia menulis buku pada 2010 yang berjudul, How I Killed Pluto and Why It Had It Coming.

"Jadi, Pluto masih bukan planet.  Sebenarnya, tidak pernah ada. Kami hanya salah mengerti selama 50 tahun.  Sekarang, kami lebih tahu. Nostalgia untuk Pluto benar-benar bukan argumen planet yang sangat baik, tetapi pada dasarnya itulah yang ada. Sekarang, mari kita mulai dengan kenyataan,” tulis Brown di Twitter pada Mei 2018.

Perdebatan di kedua sisi mengenai status pluto ini diperkirakan akan terus berlanjut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement