REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali, Pengamat Sosial Politik Keagamaan.
Abun, asal Tasikmalaya, Jabar, yag beberapa kali saya lukiskan dalam tulisan di Kompas dan The Jakarta Post’, adalah lawan pingpong tangguh. Dia selalu berusaha mengambil dua set awal dlaam lima set pertandingan.
Sebab, terutama set ke-4 dan ke-5, Abun harus menghemat tenaga dengan gaya bertahan saya. (Lihat Youtobe dengan judul ‘Fachry Ali’s Smash’). Tdk jarang saya bisa mengejar ketinggalan dan, walau jarang, bisa menang.
Usai main, kami berbincang. Salah satunya adalah istilah lokal bhs Sunda Tasikmalaya. Kali ini, dia memperkenalkan istilah ‘bumen-bumen’ dan ‘ingkar ti lembur’. Yang pertama, adalah orang kampung yang merantau dan tinggal menetap di negeri rantau. Jadi, punya ktp, rumah dan keluarga di rantau.
Yang kedua, ‘ingkar ti lembur’ adalah, terjemahan saya, ‘seasonal migrant’ (orang kampung yang bekerja di rantau, tetapi tinggal secara permanen di kampung).
Abun sendiri menyebut diri anggota ‘ingkar ti lembur’. Walau bekerja sebagai service arloji di Cibubur, ia ber KTP Tasikmalaya. Punya keluarga di Tasikmalaya.
Pertanyaannyaannya, apakah istilah ‘bumen-bumen’ dan ‘ingkar ti lembur’ ada dalam bahasa Jawa? Mungkinkah perbedaan makna ‘bumen-bumen’ dan ‘ingkar ti lembur’ ini yang dimaksudkan Presiden Jokowi ketika bercakap-cakap dengan presenter terkenal Najwa Shihab?