Selasa 21 Apr 2020 20:41 WIB

Pertamina akan Kehilangan Laba Sampai 51 Persen

Pandemi covid-19 menggerogoti hampir seluruh lini bisnis Pertamina.

Rep: Intan Pratiwi / Red: Agus Yulianto
Petugas SPBU mengisi bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di SPBU Kuningan, Jakarta. PT Pertamina (Persero) membuka ruang penurunan harga BBM non subsidi pada bulan ini bila pelemahan harga minyak mentah dunia berlanjut
Foto: Prayogi/Republika
Petugas SPBU mengisi bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di SPBU Kuningan, Jakarta. PT Pertamina (Persero) membuka ruang penurunan harga BBM non subsidi pada bulan ini bila pelemahan harga minyak mentah dunia berlanjut

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT. Pertamina (Persero) memprediksi melemahnya harga minyak dan penyebaran wabah covid akan menggerus kinerja perusahaan. Perusahaan memprediksi perusahaan akan kehilangan laba sampai 51 persen.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan, perusahaan memastikan target laba dan pendapatan pada tahun ini tidak akan tercapai. Perusahaan membandrol laba sebesar 2,2 miliar dolar dan pendapatan mencapai 58,33 miliar dolar pada tahun ini.

Sayangnya, pandemi covid-19 menggerogoti hampir seluruh lini bisnis Pertamina baik hulu maupun hilir. Tekanan kurs rupiah pun turut mengganggu kesehatan keuangan perseroan. "Untuk skenario sangat berat, maka profit akan berkurang 51 persen," kata Nicke dalam rapat daring, Selasa (21/4).

Nicke mengatakan, pihaknya telah membuat simulasi berdasarkan dua skenario yang ditetapkan pemerintah, yakni skenario berat dan sangat berat. Untuk skenario besar asumsi harga minyak Indonesia (ICP) sebesar 38 dolar AS per barel dan nilai tukar Rp17.500 per dolar AS, pendapatan akan turun hingga 38 persen dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020.

Sementara skenario sangat berat dengan sebesar 31 dolar AS per barel dan nilai tukar Rp 20 ribu per dolar AS, pendapatan akan turun hingga 45 persen dari RKAP 2020. "Karena penurunan ICP berdampak sangat besar terhadap bisnis hulu Pertamina. Luar biasa (penurunan di hulu) di atas 40 persen," tutur Nicke.

Dari skenario pertama maka dampak penurunan di segmen bisnis hulu Pertamina sebesar 57 persen, kemudian di hilir penurunannya sebesar 38 persen, subholding gas sebesar 13 persen serta finance dan service turun sebesar 40 persen.

Sementara dalam skenario kedua, penurunan di hulu bisa mencapai 59 persen, di hilir 46 persen, di subholding gas sebesar 14 persen serta finance dan service 47 persen.

Di sisi hilir, Pertamina mengakui adanya kebijakan bekerja dari rumah (WFH) dilanjutkan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah membuat penjualan BBM tertekan cukup dalam.

Secara nasional untuk periode Maret-pertengahan April, penjualan BBM turun 34,6 persen dibanding rata-rata penjualan di Januari-Februari. Nicke mengatakan, kota-kota besar seperti Jakarta turun 59 persen, Bandung turun 57 persen, Makassar turun 53 persen dan kota lainnya turun di atas 40 persen.

"Kalau dilihat, ini adalah sales terendah sepanjang sejarah Pertamina," tambah dia.

Selain itu, lanjut Nicke, penjualan BBM untuk penerbangan atau aviasi dalam bentuk avtur juga mengalami penurunan di atas 60 persen. Sebab sebagian besar maskapai sudah memberhentikan sementara operasional mereka. Demikian juga dengan penjualan BBM industri karena beberapa industri juga sudah tidak beroperasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement