Selasa 21 Apr 2020 19:46 WIB

BKSDA Ketapang-IAR Indonesia Selamatkan Bayi Orang Utan

Bayi orang utan yang dipelihara warga Kepatang diselamatkan oleh BKSDA.

Bayi oangutan (Pongo pygmaeus) yang dipelihara warga Kepatang diselamatkan oleh BKSDA. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Zabur Karuru
Bayi oangutan (Pongo pygmaeus) yang dipelihara warga Kepatang diselamatkan oleh BKSDA. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KETAPANG -- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang menyelamatkan bayi orang utan jantan peliharaan warga di Dusun Sabang Keramat, Desa Batu Lapis, Kecamatan Hulu sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Penyelamatan satwa bernama latin Pongo pygmaeus itu dilakukan bersama dengan International Animal Rescue (IAR) Indonesia.

"Orang utan itu dipelihara oleh Bumeng, seorang warga Sabang Keramat selama tiga bulan. Pemiliknya mengaku tidak sengaja menemukan bayi orang utan ini sendirian di tepi hutan," kata Kepala BKSDA Kalimantan Barat Sadtata Noor Adirahmanta di Pontianak, Selasa.

Baca Juga

Selama dipelihara, orang utan yang diberi nama Batis ini ditempatkan di dalam kandang kecil. Oleh pemiliknya, orang utan ini diberi makan nasi putih, pisang, pepaya, dan tebu serta diberi minum kopi dan air putih.

"Batis tidak pernah dikeluarkan dari kandang, makan dan minum diberi di kandang saja. Pemeliharaan ilegal yang tidak memerhatikan kebersihan dan kesejahteraan satwa ini turut menyumbang potensi munculnya penyakit," kata Sadtata.

 

Sementara itu. Direktur Program IAR Indonesia Karmele L Sanchez mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara oleh dokter hewan di lapangan kondisi kesehatan orang utan berusia lebih dari enam bulan terlihat cukup baik, tidak tampak ada kelainan maupun gejala dehidrasi. Ia menyebutkan, untuk memastikan kondisinya, Batis harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

Saat ini, Batis sudah berada di kandang karantina di Pusat Penyelamatan dan Konservasi orang utan IAR Indonesia di Desa Sungai Awan, Kabupaten Ketapang untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut. Karantina akan dilakukan selama delapan pekan.

"Pemeriksaan lebih mendalam juga akan dilakukan beberapa kali selama masa karantina untuk memastikan Batis tidak membawa penyakit yang bisa menular ke manusia ataupun orang utan lain di pusat rehabilitasi," katanya.

Menurut Karmele, memelihara satwa liar seperti ini memang seharusnya tidak lagi terjadi. Selain mengancam kelestarian satwa liar, perilaku tidak bertanggung jawab itu juga berisiko membahayakan manusia dengan penyakit yang mungkin dibawa oleh satwa liar.

“Sudah saatnya kita semua menghentikan pemeliharaan satwa liar baik orang utan maupun satwa lainnya yang seharusnya tetap tinggal di hutan. Orang yang menemukan atau melihat orang utan dan satwa liar lainnya di tempat yang tidak semestinya harus segera melaporkannya ke pihak berwajib,” jelas Karmele.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement