Selasa 21 Apr 2020 06:18 WIB

Pemerintah Siap Potong Lagi Belanja Negara

Pemerintah kembali melakukan penyisiran budget untuk tentukan pos yang dapat dipotong

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Pemerintahbsiap memotong anggaran belanja lagi untuk mengantisipasi dampak ekonomi Covid-19.
Foto: Republika
Pemerintahbsiap memotong anggaran belanja lagi untuk mengantisipasi dampak ekonomi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu menuturkan, pemerintah akan kembali memotong anggaran belanja kementerian/ lembaga. Kebijakan ini untuk mengantisipasi keberlanjutan dampak pandemi virus corona (Covid-19) terhadap ekonomi Indonesia.

Febrio menjelaskan, sejauh ini, pemerintah sudah melakukan pemotongan budget melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 54 tentang Perubahan Postur Dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020. Dalam regulasi ini, pemerintah menambah besaran defisit menjadi 5,07 persen terhadap PDB atau sekitar Rp 873 triliun untuk alokasi belanja tambahan penanganan Covid-19.

Saat ini, pemerintah kembali melakukan penyisiran budget untuk menentukan pos belanja mana yang dapat dipotong. "Karena pemerintah harus siap pengetatan ikat pinggang," ujar Febrio dalam Macroeconomic Talkshow melalui teleconference, Senin (20/4).

Febrio mengakui, kebijakan pemotongan anggaran memang tidak nyaman bagi banyak kementerian/ lembaga maupun pemerintah daerah. Sebab, mereka sudah merancang desain besaran dan kegiatan sejak tahun lalu. Tapi, ini menjadi upaya yang harus dilakukan untuk menahan tekanan dampak perlambatan ekonomi di tengah pandemi.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)  merupakan kementerian/lembaga yang paling besar mendapatkan potongan anggaran. Febrio menjelaskan, kebijakan social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah menjadi penyebab utamanya. "Banyak proyek tidak akan jalan," katanya.

Tidak hanya pemerintah pusat, realokasi anggaran juga akan dibebankan pada pemerintah daerah. Febrio menjelaskan, ini sebagai konsekuensi burden sharing atau berbagi beban dalam menangani pandemi. Salah satunya melalui pengurangan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai konsekuensi penurunan pendapatan negara pada tahun ini.

Dalam kedaruratan Covid-19, pemerintah pusat sudah melakukan refokusing dan realokasi anggaran untuk penanganan pandemi. Berdasarkan catatan Kemenkeu, setidaknya Rp 190 triliun belanja negara dapat dihemat dengan langkah ini. Sebanyak Rp 95,7 triliun di antaranya dari penghematan belanja kementerian/lembaga dan sisanya dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Kepala Ekonom BCA David Sumual menyebutkan, stimulus yang sudah diberikan pemerintah dan otoritas keuangan Indonesia terbilang cepat. Terutama ketika pemerintah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam Perppu tersebut, pemerintah melakukan berbagai kebijakan termasuk menggunakan sumber pendanaan alternatif anggaran dan penyesuaian batasan defisit APBN. Selain itu, pemerintah juga memperkuat kewenangan Bank Indonesia (BI) untuk membeli surat berharga negara (SBN) jangka panjang di pasar perdana dalam rangka penanganan Covid-19.

David mengatakan, efektivitas stimulus ini akan bergantung pada seberapa cepat pemerintah dan otoritas terkait mengimplementasikannya di lapangan. "Khususnya untuk mencegah supaya demand shock tidak berdampak buruk ke sektor riil," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Ke depannya, David berharap, pemerintah bisa lebih fokus memberikan stimulus kepada pengusaha menengah ke bawah. Berbeda dengan krisis 1997-1998 yang banyak menghantam korporasi besar, tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 kali ini juga menyerang UMKM dari sisi pasokan maupun permintaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement