Senin 20 Apr 2020 07:57 WIB

Gaduh setelah Covid-19 bisa Lebih Seru

Trump memantik api permusuhan yang bisa makin memanas setelah Covid-19 usai.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Di antara para pemimpin dunia, mungkin Presiden Donald Trump yang paling jengkel dengan Covid-19. Bayangkan, negara superpower alias terkuat nomor satu di dunia — ekonomi, militer, sains, teknologi, dan intelijen —justru paling banyak jumlah korbannya, termasuk bila dibandingkan dengan negara-negara yang penduduknya lebih banyak berlipat-lipat seperti Cina dan India. Kini, Amerika Serikat menempati ranking satu dalam jumlah yang meninggal dunia maupun yang positif Covid-19.

Tak mengherankan bila di tengah kesibukan — dan juga kepusingan — menghalau penyebaran Covid-19, Trump masih sibuk melemparkan tuduhan ke sana-sini. Ia mencari pihak yang bisa dijadikan kambing hitam penyebab munculnya virus, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Amerika yang korbannya paling banyak.

Tuduhan itu langsung diarahkan ke Cina, yang sebelum Covid-19 menyebar, menjadi rivalnya dalam perang dagang. Kata Trump pada Rabu lalu, pemerintahnya sedang menyelidiki dugaan kuat Coronavirus muncul dari sebuah laboratorium biologi yang telah dikembangkan Cina di Kota Wuhan. Cina, lanjut Trump, juga sengaja menutupi penyebaran virus ini ketika pertama kali muncul di Kota Wuhan. Menurutnya, seandainya Cina terbuka sejak awal tentang Coronavirus ini, maka jumlah korban bisa diminimalisasi.

Sejak awal Trump menyebut virus — yang oleh organisasi kesehatan dunia, WHO, dinamai dengan Covid-19 — dengan Virus Cina. Sedangkan menteri luar negerinya, Mike Pompeo, menyatakannya dengan Virus Wuhan. Penyebutan seperti itu tentu dengan maksud untuk mendiskreditkan Cina.

Tuduhan Trump berikutnya diarahkan kepada WHO. Organisasi kesehatan dunia itu dituding telah teledor sehingga menyebabkan banyak orang meninggal dunia akibat Coronavirus. ‘’WHO gagal melakukan tugas dasar mereka dan harus dimintai pertanggungjawaban,’’ ujar Trump, Selasa lalu.

Keteledoran yang dimaksud adalah WHO sejak awal dinilai tidak objektif dan menerima klaim Cina tanpa mengecek kebenarannya. Menurut Trump, jika saja pakar-pakar kesehatan WHO yang ke Cina bersikap objektif saat meninjau situasi lapangan dan membeberkan kurangnya transparansi Cina, maka wabah akan bisa diatasi pada sumbernya dengan sedikit kematian. 

‘’Ini akan menyelamatkan ribuan nyawa dan menghindari kerusakan ekonomi dunia,’’ kata Trump, sembari menambahkan WHO telah salah kelola yang parah.

Sebelumnya, Trump mengklaim bahwa WHO bersikap ‘Cina sentris’ dalam menangani pandemi Covid-19, dan mengancam akan menghentikan bantuan ke WHO. Kini bantuan itu benar-benar telah ia setop.

Tuduhan itu tentu ditolak oleh Cina dan WHO. Kata Presiden Xi Jinping, tuduhan itu sebagai upaya untuk mendiskreditkan Cina. Ia berjanji akan membuat perhitungan pada pihak-pihak yang melemparkan tuduhan.

Sikap tegas Cina itu didukung Presiden Rusia Vladimir Putin, yang berbicara lewat telpon dengan Xi Jinping, Kamis lalu. Menurut mereka, tuduhan kepada Cina sangat politis dan justru kontraproduktif. Xi menyatakan, upaya mempolitisasi epidemi itu ‘berbahaya bagi kerja sama internasional’. Putin menganggap ‘upaya beberapa orang untuk mendiskreditkan Cina’ tentang Coronavirus ‘tidak dapat diterima’.

Penolakan yang sama disampaikan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Ia menganggap tuduhan kepada organisasinya adalah sarat kepentingan politik. Apalagi bila tuduhan itu dikaitkan hubungan baik Cina dengan Ethiopia, negara asal Ghebreyesus. Selama ini Cina merupakan investor terbesar di Ethiopia, terutama dalam proyek pembangunan bendungan Sad an-Nahdla.

Lalu pertanyaannya, apakah Donald Trump tidak bersalah dalam menyikapi Coronavirus ini? Mengapa ia berkali-kali menuduh Cina dan WHO sebagai pihak yang bersalah dalam penyebaran wabah virus ini?

Untuk menjawabnya, ada baiknya mengetahui karakter dan kepribadian dari orang nomor satu di Gedung Putih ini. Pertama, Trump merupakan tipe orang yang mengatakan apa yang dia pikir tanpa rasa khawatir atau takut tentang akibatnya, termasuk tuduhannya kepada Cina dan WHO.

Trump tentu mempunyai motif dan alasannya sendiri. Misalnya masalah ekonomi, yang menjadi perhatian utama Trump di tahun pemilihan Presiden Amerika ini. Ia tentu ingin terpilih kembali untuk periode kedua. Kuncinya, ya itu tadi: ekonomi.

Kini ia melihat Cina, dan provinsi Hubei secara khusus dan ibukotanya, Wuhan, dari mana wabah itu berasal, kembali berdenyut. Ekonominya bergerak. Sementara itu, kota-kota besar Amerika seperti New York, Chicago, dan Detroit terperosok dalam mimpi buruk resesi yang berkepanjangan.

Trump tentu tidak mau disalahkan, terutama oleh rakyatnya sendiri di tahun pemilihan ini. Ia harus mencari kambing hitam. Dan, yang menjadi tertuduh adalah Cina, yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada dunia. Tanpa ragu ia menyebut Covid-19 sebagai virus Cina. Yang terakhir ini, menurut Trump, telah menyembunyikan awal mula penyebaran Corona dan tidak segera mengambil langkah pencegahan.

Misalnya dengan melarang warganya meninggalkan provinsi yang terkena dampak, yang merupakan salah satu provinsi terbesar dan menjadi pusat ekonomi, serta terhubung dengan bagian dunia lainnya. Cina juga dianggap telah menyembunyikan kebenaran tentang orang pertama yang terpapar Corona di pasar penjualan ikan dan daging di Wuhan, pada hari pertama Tahun Baru, sementara dunia sedang merayakan tahun baru.

Kedua, Trump merupakan presiden yang egonya tinggi, bahkan sebelum bersinggasana di Gedung Putih. Karena itu, tidak mengherankan bila dia menarik diri dari delapan perjanjian internasional, di mana Amerika merupakan pihak yang terlibat aktif. Artinya, Trump adalah pemimpin yang menganggap remeh keberadaan organisasi-organisasi internasional. Dan, WHO merupakan korban terakhirnya.

Pada kenyataannya Trump tidak mungkin tidak bersalah dalam kasus Coronavirus, terutama yang menyebar di AS. Penasihat perdagangan Presiden Trump, Peter Navarro, pada akhir Januari memperingatkan Gedung Putih bahwa Coronavirus yang muncul di Cina akan menjadi pandemi yang meluas di Amerika. Ia pun menyerukan penutupan negara itu, terutama jalur transportasi udara dan laut dengan Cina. Namun, Presiden Trump meremehkan peringatan itu, dan tidak berbuat apa-apa.

 Pada akhir Februari, Navarro kembali membuat memo dan mengingatkan kepada Trump ada kemungkinan 100 juta warga Amerika terinfeksi Covid-19 dan 1,2 juta orang berisiko meninggal dunia bila virus itu menyebar. Ia juga mengingatkan kurangnya peralatan medis untuk menghadapi wabah itu. Namun, Trump tetap menganggap remeh dan baru bertindak serius setelah pertengahan Maret.

Karena itu, Presiden Trump boleh saja menuduh Cina telah bertindak tidak objektif terkait Coronavirus. Ia juga boleh saja mengatakan WHO berkomplot dengan Cina. Tentu saja pendapat Trump ini perlu diselediki lebih jauh. Yang jadi pertanyaan, bukankah Trump adalah pemimpin negara superpower, yang badan intelijennya paling canggih di dunia, yang bisa mengendus seluruh pergerakan berbagai negara, baik udara, darat, maupun laut? Serapuh itukah intelijen Amerika?

Tuduh menuduh dan saling mencari kambing hitam di balik Coronavirus tampaknya tidak akan berhenti sampai di sini. Kegaduhan akibat Covid-19 diperkirakan akan lebih seru justru ketika wabah virus itu telah mereda. Apalagi tuduhan seperti dilemparkan Trump, bila benar, akan mempunyai konsekuensi sangat serius, sebab menyangkut puluhan ribu nyawa dan bisa menyebabkan resesi dunia. Ia bisa disejajarkan dengan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dan, kegaduhan itu akan bertambah sengit ketika masing-masing didukung oleh blok-blok negara. Seperti terjadi sekarang ini, tuduhan Trump didukung oleh Inggris, sementara bantahan Cina didukung oleh Rusia. Negara-negara lain akan menyusul bergabung dalam blok-blok itu, sesuai kepentingan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement