Senin 20 Apr 2020 07:00 WIB
Serial Suara Batin di Era Virus Corona

Keris Pusaka Pedagang Keliling

Keris pusaka itu punya kehendak. Ia menggerakkan hatiku.

Keris pusaka (ilustrasi)
Foto:

Di ruang tamu itu, ada Aku, Surya dan Danu anakku. Usia Danu sebaya dengan Surya. Mereka juga saling kenal tapi tak akrab. Persahabatanku dengan Janu rupanya tidak menurun pada anakku dan anak Janu.

“Coba Surya, segarkan memori Om. Dulu kan Surya bekerja di perusahaan Asing. Bagaimana ceritanya kok Surya mempunyai usaha roti?”

Jawab Surya, “Om mungkin lupa ya. Enam bulan sebelum Ayah wafat, waktu Om menjenguk Ayah, kita ngobrol di beranda. Waktu itu saya bertanya, kok Om yang dulu miskin bisa sangat kaya raya. Sebaliknya Ayah yang orangtuanya kaya bisa biasa saja.”

“Ingat Om?” tanya Surya. “Ya, Om ingat momen itu. Tapi samar-samar saja. Om lupa, Om ngomong apa ke Surya?”

“Om bilang,” ujar Surya, “ada satu kata gaib yang mengubah hidup Om. Sejak SMA, Om selalu memimpikan sampai di sana. Financial Freedom.”

“Bahwa Om harus sampai pada posisi itu. Yaitu kondisi di mana Om tak perlu bekerja lagi karena passive income yang datang setiap bulannya melampaui pengeluaran. Sehingga Om punya banyak waktu luang.”

“Lalu Om ingin menggunakan waktu luang itu untuk jalan hidup Om yang sebenarnya: membaca, menulis, membuat puisi, membuat film. Ingat Om?” tanya Surya lagi.

“Ya, Om ingat,” jawabku.

“Om bilang, kuncinya kita harus punya bisnis sendiri. Tak apa mulai dari kecil dulu. Yang penting mindset kita besar.”

“Mungkin tak Om duga. Omongan itu berhari-hari menginspirasi saya. Jelaslah saya tak ingin mengulangi kegagalan Ayah. Ia kerja kantoran dan di masa tuanya di PHK pula.”

“Pelan-pelan dengan istri lima tahun lalu saya membuka usaha roti. Kan dulu Om pernah saya kirim contoh rotinya.” Aku menyimak cerita Surya. Sebagian aku ingat samar-samar. Sebagian aku lupa sama sekali.”

“Roti bakar yang saya buat istimewa Om. (2) Berbeda dengan yang biasa. Awalnya saya buka di ruang garasi. Pelanggan banyak sekali.”

“Saya maju selangkah lagi. Saya punya banyak pedagang keliling membawa roti saya. Rumah sebelah saya beli menggunakan pinjaman bank, untuk produksi roti kecil-kecilan.

“Setelah maju,” saya nekat Om. Saya berhenti kerja. Saya ingin fokus menjadi pengusaha seperti Om Dastan. Istri saya setuju.”

“Sebelum virus corona datang, saya punya 50 pedagang roti keliling. Istri saya menggoda. Katanya: wah kamu sebentar lagi bisa sampai ke financial freedom. Bisa seperti Om Dastan nih. Nanti kerjanya bikin puisi terus.”

“Hahhahahaa.” Aku, Surya dan Danu anakku tertawa.

“Eh, datang virus corona. Lalu ada seruan social distancing-lah. Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kantor tutup. Sekolah tutup. Bisnis saya menurun hingga omzetnya separuh. (3) Biaya produksi sudah tidak menutup.”

“Tapi masih lumayan Om. Masih ada pemasukan. Eh...datang lagi musibah. Satu pedagang keliling saya kena virus corona. Beritanya ke mana-mana. Ampun Om. Pembeli kabur. Mereka takut roti saya mengandung virus.”

“Dua pekan tak ada pemasukan sama sekali. Nol. Istri menangis karena tagihan pinjaman bank terus datang. Separuh karyawan saya PHK. Habis uang tabungan untuk membayar pesangon.”

“Malam hari saya tahajud. Saya bilang, Tuhan aku harus bagaimana lagi? Aku tak tega memecat karyawanku. Mereka setia. Tapi aku tak punya uang.”

“Lihatlah sekolah anakku belum kubayar. Ibu dan 3 adikku masih menjadi tanggunganku.”

“Aku bukan orang jahat. Aku juga banyak berderma. Doaku pada-Mu tak pernah henti. Mengapa ini terjadi padaku?”

“Dalam tahajud, Saya menangis Om.” Surya terdiam. Air matanya menetes.

Aku pun terdiam. Danu terdiam.

Lanjut Surya: “Entah mengapa, muncul bayangan keris pusaka warisan Ayah untuk saya. Seketika saya teringat Om Dastan.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement