Senin 20 Apr 2020 06:00 WIB

Tiga Moral Kepemimpinan Nabi

Tiga moral kepemimpinan Nabi Muhammad SAW berdasarkan surah at-Taubah ayat 128

Nabi SAW (ilustrasi)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Nabi SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara keluhan-keluhan yang muncul dari kepemimpinan manusia modern ialah kecenderungannya untuk banyak mengumbar janji dan menuntut kepatuhan, alih-alih memberikan bukti dan kerelaan melayani.

Dalam fikih siyasah Islam, dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan umum. Dikatakan, "tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah." Tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kemaslahatan umum. Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.

Baca Juga

Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, seperti diterangkan dalam Alquran. Firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 128, artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Tiga sifat kepemimpinan

Maka, setidaknya ada tiga moral kepemimpinan Rasulullah SAW, berdasarkaan ayat di atas.

Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain).

Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sebagai sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.

Empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Itu lantas mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi penderitaan orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa).

Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat meraih kemajuan. Tugas pemimpin memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan menuju harapan itu.

Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT memiliki sifat maha pengasih lagi maha penyayang. Rasul SAW juga seorang yang pengasih dan penyayang.

Kaum Mukminin wajib pula meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul SAW itu dengan mencintai dan mengasihi sesama manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Sabda Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”

Menurut Rasyid Ridha, tiga moral di atas wajib hukumnya ada bagi pemimpin. Sebab, tanpa ketiga moral itu, seorang pemimpin bisa dipastikan tidak bekerja untuk rakyat, tetapi demi kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja.

sumber : Hikmah Republika oleh A Ilyas Ismail
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement