Ahad 19 Apr 2020 08:57 WIB
haji

Masyumi dan KH Wahid Hasyim: Mengatur Haji Di Tengah Wabah

Bercermin cara penanganan ibadah haji di tengah wabah pada 1951.

Jamaah haji berangkat naik kapal ke Makkah pada tahun 1938.
Foto: gahetna.nl
Jamaah haji berangkat naik kapal ke Makkah pada tahun 1938.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah dan Mantan Staf Ahli Wapres Hamzah Haz dan M Nastir.

Di tengah  serbuan virus Corona, calon jamaah haji Indonesia yang seharusnya berangkat tahun ini, dan telah melunasi biaya perjalanan ibadah haji, terombang-ambing di antara harapan dan kecemasan: "berangkatkah atau tidak?"  Dan memang harapan dan kecemasan yang manusiawi! Tapi apakah sellau begitu atau adakah hal lain yang bisa dilakukan bila berkaca dari sejarah?

Memang sejak merebaknya virus Corona, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) sebagai pelayan Masjid Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah telah menutup dua tempat suci itu. Dari siaran televisi kita bisa menyaksikan dua Masjid Haram yang kosong dari jamaah, dan tempat thawaf yang dipagar, sehingga jamaah yang sangat sedikit tidak bisa thawaf dekat Ka'bah.

Sampai kapan KSA menggembok dua kota suci itu? Wallahu'alam.

 

Di tengah ketidakpastian, terbetik kabar 150 keluarga kerajaan positif terserang virus Corona. Kabar ini bisa berdampak diperpanjangnya masa penggembokan, dan mungkin saja berujung kepada keputusan untuk meniadakan pelaksanaan ibadah haji tahun ini.

Gagasan Ugal-ugalan

Dalam situasi yang masih tidak menentu, seorang anggota Komisi VIII DPRRI mengusulkan agar dana penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dialihkan untuk menangani virus Corona. Anggota komisi yang menangani hal ihwal agama  itu seolah-olah tidak tahu bahwa di dalam biaya penyelenggaraan ibadah haji terdapat uang masyarakat yang mereka kumpulkan serupiah demi serupiah dengan membanting tulang dan bercucuran keringat. Tidak jarang uang itu baru terkumpul sesudah puluhan tahun.

Seenaknya mengusulkan realokasi anggaran yang murni berasal dari kantong rakyat, di tengah musibah Corona sekarang ini, sungguh gagasan yang nirempati kepada rakyat yang memilih para anggota parlemen itu. Tidak cuma nirempati, usul itu bahkan tidak berkeadaban!

Dalam hubungan ini, kita mendukung sepenuhnya pendapat Prof Din Syamsuddin yang menolak gagasan ugal-ugalan anggota Komisi VIII itu.

Diadzani, Diiqomati, Ditahlili

Perbaikan penyelenggaraan ibadah haji, sejak lama sudah menjadi kepedulian umat. Maklum, di zaman penjajahan Belanda, ibadah haji bukan saja tidak mendapat perhatian, bahkan pernah hendak dihapus. Penjajah Belanda mengendus potensi orang-orang yang baru pulang dari Tanah Suci itu untuk mengobarkan perlawanan terhadap kekuasaan kaum kolonial.

Di awal kemerdekaan, Badan Pekerja Kongres Muslimin Indonesia membentuk Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji. Di dalam yayasan yang mencakup semua tokoh dari berbagai organisasi Islam itu, dengan dukungan pemerintah, dilakukan berbagai usaha perbaikan kualitas perjalanan ibadah haji.

Yayasan PHI yang perwakilan dan pembantu perwakilannya tersebar di seluruh tanah air, membantu jamaah mulai dari pengurusan semua dokumen perjalanan, pengasramaan,  pemberangkatan, berbagai informasi, sampai proses penjemputan di pelabuhan laut. Karena itulah, di tiap kota pelabuhan seperti Jakarta, Medan, Padang, Palembang, Semarang, dan Surabaya, PHI membangun dan memiliki asrama haji.

Kantor dan asrama haji milik PHI di Semarang, kini menjadi hotel yang cukup diminati. Peranan PHI berakhir pada awal 1970-an sesudah pemerintah memonopoli semua proses perjalanan ibadah haji, dan meniadakan perjalanan dengan kapal laut.

Perjalanan ibadah haji dengan kapal laut, bisa berlangsung berbulan-bulan. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketika telah digunakan kapal laut yang lebih moderen, perjalanan ibadah haji dari Indonesia ke Saudi memakan waktu setengah bulan. Ditambah masa tinggal di Saudi Arabia selama dua bulan, praktis lama perjalanan ibadah haji tidak kurang dari tiga bulan.

Karena lamanya perjalanan, ditambah sulitnya komunikasi, tidak heran jika sebelum berangkat ke Tanah Suci para calon haji itu diadzani dan diiqomati lebih dulu. Sepekan sekali diadakan ritual tahlil dengan membaca ratib mendoakan keluarga yang berangkat ke Tanah Suci.

7.500 Jamaah Gagal Berangkat

Pada musim haji tahun 1951, Menteri Agama K.H. A. Wahid Hasjim berencana melibatkan lebih banyak perusahaan pelayaran nasional untuk mengangkut jamaah haji Indonesia ke Tanah Suci. Sebelumnya, seluruh jamaah haji diangkut hanya oleh perusahaan pelayaran "Kongsi Tiga".

Menteri Agama pada Kabinet Soekiman Wirjosandjojo itu ingin agar perusahaan pelayaran nasional seperti "Djakarta Lyod", dan "Inaco" turut juga mengangkut jamaah haji. Menteri Wahid Hasjim tidak mau ada monopoli dalam pengangkutan jamaaj haji. Meskipun demikian, "Kongsi Tiga" tetap mendapat jatah terbanyak. Dari sepuluh ribu jamaah, "Kongsi Tiga" mendapat jatah lima ribu jamaah. Sisanya akan diangkut oleh "Djakarta Lyod", dan "Inaco".

Semua kesepakatan dan persiapan sudah matang. Seluruh jamaah haji harus sudah berangkat sebelum tanggal 21 Agustus. Pada bulan Maret, nama-nama kapal laut yang akan mengangkut jamaah haji sudah diumumkan lengkap dengan kapasitas dan spesifikasi lainnya. Dua ribu lima ratus jamaah sudah diberangkatkan oleh "Kongsi Tiga".

Menjelang pemberangkatan  tujuh ribu lima ratus jamaah, tersiar kabar, Tanah Suci Makkah dan Madinah diserang wabah penyakit. "Djakarta Lyod", dan "Inaco" tidak berani mengambil risiko mendatangi tempat berkembangnya wabah. Mengalihkan ke perusahaan pelayaran lain, memerlukan waktu.

Pemerintah sendiri, seperti dikemukakan oleh Menteri Agama, bersikap preventief-maatregel, karena Pemerintah tidak dapat mempertanggungjawabkan jamaah haji berangkat sebab dikhawatirkan akan menjadi korban wabah penyakit yang sedang berjangkit.

Interplasi Amelz dkk

Kegagaln  memberangkatkan 7.500 jamaah haji, tentu saja menimbulkan kekecewaan, terutama di kalangan kaum Muslimin.

Tidak sedikit dari mereka yang telah berpekan-pekan, bahkan satu-dua bulan sebelumnya, berangkat dari kampung halamannya diantar dengan meriah oleh seisi kampung, menunggu di pelabuhan yang telah ditentukan, akan tetapi akhirnya dengan penuh rasa kecewa yang tidak terlukiskan harus kembali ke kampung halamannya. Bukan saja kecewa, mereka juga menahan rasa malu.

Menyahuti kekecewaan masyarakat, utamanya jamaah calon haji yang gagal diberangkatkan oleh Pemerintah, sejumlah anggota parlemen diprakarsai oleh Amelz, mengajukan interplasi.

Pada akhir Oktober 1951, Interplasi Amelz dkk dibicarakan di Parlemen.

Menurut majalah Hikmah, 16 November 1951, meskipun kesudahan Interplasi Amelz dkk tidak sampai menimbulkan konsekuensi politik, akan tetapi dipandang dari sudut pemecahan masalah, pembahasan interplasi itu ada faidahnya, terutama untuk menjelaskan duduk persoalan dan keadaan yang sebenarnya.

Interplasi Amelz dkk boleh dikatakan tidak sampai kepada titik penghabisan, sebab interplasi yang mempertanyakan kebijakan Menteri Agama K.H. A. Wahid Hasjim itu berkesudahan dengan 39 setuju versus 55 tidak setuju.

Dengan demikian Interplasi Amelz dkk, tidak diterima, tetapi juga tidak ditolak, sebab qourum untuk interplasi diterima atau ditolak seharusnya seperempat dari jumlah anggota, yaitu 56 suara.

Politik Masyumi

Menurut peribahasa, Interplasi Amelz dkk "tergantung tidak bertali", apalagi dalam peraturan tata tertib Parlemen pada saat itu belum ada ketentuan apa yang harus dilakukan terhadap usul atau mosi yang tidak mencapai qourum seperti Interplasi Amelz dkk.

Tidak kurang menariknya melihat siapa yang memerakarsai usul interplasi dan siapa yang diinterplasi.

Seperti sudah disinggung di muka, K.H.A. Wahid Hasjim adalah Menteri Agama dalam Kabinet Soekiman Wirjosandjojo-Soewirjo (koalisi Masyumi dengan PNI). Amelz, pemerakarsa Interplasi, adalah anggota parlemen dari fraksi Masyumi.

Patut diduga, Amelz memerakarsai interplasi, untuk melindungi Kiai Wahid --juga Perdana Menteri Soekiman-- dari serangan lawan politik. Apalagi pada tahun itu, Kabinet Soekiman juga sedang diserang lantaran kebijakannya menangkapi orang-orang komunis.

Pada saat yang sama, di Parlemen diajukan Interplasi Tan Po Goan dkk tentang penangkapan-penangkapan  yang dikenal sebagai "Peristiwa Agustus". Interplasi Tan Po Goan dkk berakhir dengan 21 setuju versus 91 menolak. Artinya, interplasi itu tertolak, dan langkah PM Soekiman menangkapi orang-orang komunis, dibenarkan oleh Parlemen.

Dengan memerakarsai interplasi tentang penyelenggaraan ibadah haji, Amelz memberi kesempatan legal-konstitusional kepada Menteri Agama Wahid Hasjim untuk menjelaskan semua kebijakannya. Amelz juga mengendalikan permainan.

Meskipun hasil akhirnya kurang memuaskan (39 versus 55), Amelz telah menyahuti kekecewaan umat secara politis menurut tata cara demokratis-parlementer.

Begitulah cara berpolitik para politisi Masyumi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement