Sabtu 18 Apr 2020 07:18 WIB

Rasa Curiga pada Pemerintah Menyeruak di Kalangan Muslim India

Rasa Curiga pada Pemerintah Menyeruak di Kalangan Muslim India

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Rasa Curiga pada Pemerintah Menyeruak di Kalangan Muslim India
Rasa Curiga pada Pemerintah Menyeruak di Kalangan Muslim India

Tangan Iqbal Hussain Siddiqui ditandai tinta ungu oleh petugas kesehatan India, sebuah pertanda dia harus mengisolasi diri di dalam rumah. Tapi Siddiqui yang berusia 66 tahun, penduduk kawasan kumuh Dharavi di Mumbai, membasuh dan mengusapnya sebaik mungkin agar tinta itu menghillang dan pergi kembali menjual telur.

Tinta ungu itu sedianya diberikan agar warga miskin tetap tinggal di rumahnya, meski cuma punya satu ruangan, tanpa ventilasi tanpa toilet. Masyarakat setempat mencurigai kebijakan ini sebagai akal-akalan pemerintah nasionalis Perdana Menteri Narendra Modi, yakni menggunakan petugas kesehatan untuk mengumpulkan data identitas penduduk dengan kedok mengatasi pandemi COVID-19.

"Modi ingin menjadikan kaum muslim warga negara kelas dua," kata Siddiqui, yang diperintahkan untuk dikarantina, setelah seorang tetangga dinyatakan positif terpapar virus corona. "Tidak ada orang yang sakit - itu semua bohong. "

Kecurigaan serupa digaungkan oleh beberapa muslim di Dharavi lainnya kepada kantor berita Reuters, meskipun para pemimpin masyarakat di sana berusaha meyakinkan warga bahwa pekerja kesehatan berada di distrik tersebut untuk melindungi mereka dari COVID-19.

Ketika virus corona menyapu seluruh India, pemerintah Modi bereaksi dengan memberlakukan lockdown di negara berpenduduk, 1,3 miliar warga itu. Hingga hari Jumat (17/04), India telah mengumumkan 437 kematian akibat virus corona.

Dilaporkan Reuters, virus corona juga memperdalam jurang perpecahan antara mayoritas Hindu dan kaum muslim.

Ancaman ekonomi perkuat rasa takut

Tidak sedikit warga muslim yang meyakini mata pencaharian mereka terancam akibat pemberlakuan zona karantina di daerah padat seperti Dharavi. Setidaknya 71 kasus positif COVID-19 tercatat di kawasan kumuh itu.

Rasa ketidakpercayaan kaum muslim terhadap pemerintahan Bharatiya Janata Party mencuat setelah berbulan-bulan aksi protes terhadap undang-undang kewarganegaraan baru yang dikatakan pengamat mendiskriminasi umat Islam, dan tindakan keras oleh pemerintah India di wilayah Kashmir yang mayoritasnya muslim.

Tidak ada rincian resmi kasus virus corona berdasarkan agama. Tetapi banyak umat muslim merasa dikambinghitamkan ikut menyebar virus setelah kisruh seputar pertemuan Jamaah Tabligh di New Delhi bulan lalu. Liputan berita tentang acara tersebut, yang dikipasi oleh beberapa politisi nasionalis Hindu, memicu trending topic "Coronajihad" di media sosial.

Pertemuan jamaah tersebut dikaitkan dengan setidaknya 1.000 kasus positif virus corona dengan lebih dari 25.500 orang terkait dengan pertemuan itu dikarantina.

"Ada rasa ketidakpercayaan yang kuat di antara kaum muslim kepada pemerintah, "kata Gyasuddin Shaikh, politisi partai oposisi di Kongres Ahmedabad, kota terbesar di negara bagian Gujarat, yang merupakan arena kerusuhan Hindu-muslim pada tahun 2002. "Kami butuh banyak waktu dan upaya untuk meyakinkan orang-orang seperti itu bahwa dokumen mereka diperlukan untuk kepentingan medis. "

Akibatnya petugas kesehatan yang menyebar di seluruh Dharavi untuk mengidentifikasi dan melacak kasus corona jadi sumber kecurigaan. Beberapa kaum muslim percaya mereka diam-diam mengumpulkan data untuk database nasional yang ditujukan mengidentifikasi imigran ilegal, demikian menurut tokoh masyarakat dan wawancara dengan warga, sebagaimana dilansir dari Reuters.

Hantu NRC di tengah wabah corona

Banyak Muslim khawatir, pendataan di Daftar Nasional Warga negara (NRC), dapat digunakan untuk membuat mengawasi mereka yang tidak dokumen kewarganengaraannya tidak lengkap. "Kami harus pergi dan memberi tahu masyarakat: 'Tolong, ini sudah tidak ada hubungannya dengan NRC. Ini untuk keselamatanmu,” ujar Imtiaz Jaleel, anggota partai oposisi, Dewan Muslim India.

Sebagian besar komunitas muslim mendukung pihak berwenang untuk menahan penyebaran virus corona, kata seorang menteri kesehatan di pemerintahan negara bagian Maharashtra.

Jawatan kepolisian Maharashtra telah mengajukan lebih dari 200 kasus anggota kelompok Jamaah Tabligh kasus ke pengadilan karena diduga mendorong penyebaran penyakit, termasuk dengan bersembunyi di masjid-masjid, Ujar seorang pejabat polisi.

Mujeeb ur Rehman, seorang juru bicara Jamaah Tabligh, mengatakan beberapa orang-orang yang terdampar di masjid setelah dikarantina dan takut melaporkan diri mereka kepada pihak berwenang.

Pemimpin Jamaah Tabligh itu kini didakwa melakukan pembunuhan. Polisi India mengenakan tuduhan itu setelah pertemuan yang diadakan di Delhi. Polisi mengatakan, Muhammad Saad Khandalvi mengabaikan dua pemberitahuan untuk menghentikan acara di sebuah masjid di ibu kota India Maret lalu.

ap/rzn (Reuters)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement