Jumat 17 Apr 2020 23:49 WIB

Kisah Dakwah KHR Syamsul Arifin di Tengah Komunitas Maling

KHR Syamsul Arifin merupakan pendiri Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo

Kisah Dakwah KHR Syamsul Arifin di Tengah Komunitas Maling
Foto: pp salafiyah syafiiyah
Kisah Dakwah KHR Syamsul Arifin di Tengah Komunitas Maling

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Raden Syamsul Arifin adalah pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur. Secara nasab, ia masih keturunan wali sanga.

Seperti disarikan dari buku KHR As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Syamsul Arifin tumbuh dalam lingkungan santri, tepatnya Pesantren Kembang Kuning di Desa Lancar, Pamekasan, Madura. Ia lahir dengan nama Ibrahim pada 1841.

Baca Juga

Ayahandanya bernama Kiai Ruham, sedangkan ibunya adalah Khadijah alias Nyai Nur Sari.

Saat berusia 12 tahun, Ibrahim belajar di Pondok Pesantren Sidogiri, Jawa Timur. Di sana, kecerdasannya tampak menonjol. Bahkan, dalam beberapa bulan ia sudah diizinkan untuk menjadi asisten ustaz.

Dari Sidogiri, Ibrahim meneruskan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Setelah itu, ia kembali ke Madura untuk menuntut ilmu pada Kiai Kholil di Pesantren Bangkalan. Seiring waktu, ia kian dekat dengan ulama berjulukan syaikona itu.

Dakwah di tengah penjahat

Setelah menjadi santri Syaikhona Kholil, Ibrahim (nama muda KH Raden Syamsul Arifin) pulang ke kampung halaman untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya selama ini. Sejak saat itu, ia menekuni jalan dakwah.

Di Pamekasan, Ibrahim dihadapkan pada kondisi masyarakat yang kurang hangat terhadap orang-orang pesantren. Sebab, suasana desa kala itu masih diwarnai maraknya perbuatan-perbuatan maksiat. Sebut saja, perjudian, sabung ayam, dan mabuk-mabukan.

Sebagai alim, ia merasa terbebani dosa jika ikut membiarkan maksiat merajalela. Akhirnya, ia pun terjun langsung ke arena munkarat itu untuk berdakwah.

Ia memahami betul cara dakwah yang mesti ditempuh untuk menghadapi para penjahat. Suatu ketika, Ibrahim mendengar kabar adanya remongan di dekat desa tempat tinggalnya. Acara itu semacam pesta yang dihadiri para penjudi, garong, dan macam-macam pelaku kriminal.

Dengan celurit dan sangkur dipinggang, ia pun berjalan menyusuri keramaiaan. Para pengunjung pesta itu terkejut. Sebab, mubaligh ini tampil bak seorang jagoan. Ternyata, cara seperti itu cukup berhasil untuk meredakan kesombongan mereka.

Setiap terjadi bentrokan, Ibrahim selalu berhasil melumpuhkan kekuatan para perusuh.

Dari sinilah, ia menjadi sosok yang paling ditakuti para penjahat. Berbekal rasa segan itu, Ibrahim dapat dengan relatif mudah melakukan dakwahnya kepada mereka.

Dakwah di tengah komunitas penjahat itu terus dilakukannya. Berangsur-angsur, masyarakat setempat banyak yang tersadarkan, sehingga kembali pada jalan kebaikan.

Begitulah kiprah Kiai Raden Syamsul Arifin saat masih muda. Usai itu, ayahanda pahlawan nasional--KH As'ad Syamsul Arifin--itu lantas meneruskan pendidikan ke Pondok Pesantren Sidogiri--untuk kedua kalinya. Rihlah keilmuannya terus berkembang, bahkan sampai ke Tanah Suci.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement