Jumat 17 Apr 2020 17:52 WIB

IGI Curigai Ada Pasal Titipan di Permendikbud 19/2020

Permendikbud ini terkait diperbolehkannya dana BOS untuk pembelian layanan pendidikan

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Agus Yulianto
Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim
Foto: Dok Pribadi
Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Guru Indonesia (IGI) mengkritisi Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 Pasal 9A terkait dibolehkannya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian layanan pendidikan daring berbayar bagi peserta didik. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran bahwa layanan tersebut justru membuat kebutuhan siswa semakin besar.

"Selain harus membeli layanan pendidikan, juga harus membeli kuota data. Tapi, juga secara otomatis membuat jalinan komunikasi antara guru dengan siswa dan siswa dengan gurunya terputus. Padahal, jalinan komunikasi pengajaran itu tetap bisa dilakukan di dunia maya dengan bantuan internet dan ketersediaan kuota data," kata Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim, Jumat (17/4).

Dia mencurigai, pasal tersebut adalah pasal titipan dari para penyedia layanan pendidikan dalam jaringan (daring) berbayar. Menurut Ramli, pembelian layanan ini oleh sekolah sebenarnya sangat tidak diperlukan.

Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana siswa dan guru bisa terus berkomunikasi di tengah pandemi Covid-19.

"Bukan dengan cara membangun komunikasi dari gurunya siapa ke siswanya siapa dan dari siswanya siapa ke gurunya siapa. Apalagi, dari satu guru untuk ratusan bahkan ribuan siswa karena proses tersebut menghilangkan sisi pendidikan dan hanya menjalankan sisi pengajaran saja," kata dia lagi.

Selain itu, inspektorat mesti mencermati sekolah-sekolah yang menggunakan dana BOS untuk pembelian layanan pendidika. Hal ini, menurutnya, sangat berpotensi terjadi pengaturan-pengaturan antara sekolah yang menggunakan dana BOS dengan para penyedia layanan pendidikan berbayar.

Caranya, kata Ramli, tentu saja mudah dan sudah menjadi rahasia umum. Sistem cashback seperti pada proses pembelian buku-buku pelajaran sekolah tentu saja tidak susah dilakukan oleh para penyedia layanan pendidikan berbayar ini. 

"Apalagi modal mereka untuk menjalankan proses itu jauh lebih murah daripada buku cetak. Jangan sampai terjadi sekolah-sekolah kita mampu membeli layanan pendidikan berbayar ini, tapi justru tidak mampu membayar guru-guru honorer mereka," kata Ramli menegaskan.

Karenanya, dia meminta, DPR sebagai pengawas dan KPK sebagai lembaga pencegahan korupsi untuk terus mengawasi hal ini. Sebab, saat ini, guru sangat tidak membutuhkan platform pendidikan berbayar.

Anggaran seharusnya digunakan untuk membayar guru bisa saja dialihkan untuk membeli layanan pendidikan berbayar. "Kami dari ikatan guru Indonesia sangat menginginkan maksimalisasi proses pembelajaran langsung dari guru dengan siswa tetap menjadi prioritas pemerintah meskipun harus melalui dunia maya," kata Ramli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement