Jumat 17 Apr 2020 07:04 WIB

Physical Distancing, Bolehkah Istri Menolak Berhubungan?

Kewajiban ini bukan semata kewajiban istri.

Sepasang suami istri dengan masker selama pernikahan di kota Hebron, Tepi Barat, Palestina, Jumat (10/4). Otoritas Palestina memberlakukan batasan memerintahkan orang untuk tinggal di rumah dan melarang pertemuan publik dan menyatakan keadaan darurat selama 30 hari setelah 266 kasus SARS -CoV-2 coronavirus yang menyebabkan penyakit Covid-19 didiagnosis di distrik Tepi Barat
Foto: EPA-EFE / ABED AL HASHLAMOUN
Sepasang suami istri dengan masker selama pernikahan di kota Hebron, Tepi Barat, Palestina, Jumat (10/4). Otoritas Palestina memberlakukan batasan memerintahkan orang untuk tinggal di rumah dan melarang pertemuan publik dan menyatakan keadaan darurat selama 30 hari setelah 266 kasus SARS -CoV-2 coronavirus yang menyebabkan penyakit Covid-19 didiagnosis di distrik Tepi Barat

REPUBLIKA.CO.ID, Pembatasan fisik maupun sosial (physical distancing dan social distancing) menjadi salah satu cara terbaik dalam upaya memutus rantai penyebaran wabah Covid-19.  Dalam situasi saat ini, setiap individu harus dapat menjaga diri dan orang-orang di sekitarnya dengan menjaga jarak, terlebih saat berinteraksi. Seperti yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa jarak aman satu individu dengan individu lainnya adalah 1 atau 2 meter. 

Terkait situasi yang saat ini terjadi, terdapat persoalan fiqih menarik, yakni bagaimana hukumnya bila istri menolak ajakan suaminya berdekatan atau bahkan berhubungan dengan alasan physical distancing dan social distancing untuk mewaspadai corona, padahal seorang istri wajib untuk menaati suaminya selagi tidak dalam kemaksiatan? 

Terkait masalah ini, Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmad Sarwat, memeberikan penjelasan secara gamblang. Ustadz Sarwat menjelaskan, pada dasarnya kewajiban istri adalah melayani kebutuhan seksual suami. Bahkan, para ulama di dalam mazhab asy-Syafi'i mengatakan bahwa itulah satu-satunya kewajiban istri kepada suami.

Ustadz Sarwat mengatakan, dalam kitab hadits terdapat banyak penjelasan Nabi Muhammad SAW terkait kewajiban seorang istri melayani kebutuhan seksual suaminya. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang menjelaskan bila seorang wanita melewati malamnya dengan menolak tidur dengan suaminya maka malaikat melaknatnya sampai subuh. Selain itu, terdapat juga hadits yang berbunyi bila suami mengajak istrinya berjimak, tetapi istrinya menolak untuk melakukannya, malaikat melaknatnya hingga subuh. 

Namun demikian, menurut Ustadz Sarwat, perlu diketahui bahwa kewajiban ini juga bukan hanya semata kewajiban istri. Suami pun juga punya kewajiban yang sama. Sebagaimana keterangan hadits riwayat Bukhari yang menerangkan bahwa istri mempunyai hak terdapat suami. Selain itu, sebagaimana dapat dipelajari dari perintah Rasulullah kepada Abu ad-Darda untuk menggauli istrinya. 

"Puasalah, tetapi juga berbukalah. Lakukan sholat malam, tetapi juga tidur, dan datangilah istrimu." (HR ad-Daruquthuny). Bahkan, Ustadz Sarwat menjelaskan untuk melakukan 'azl (menumpahkan sperma di luar kemaluan istri) pun dilarang kecuali dengan izin istri. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan al-Baihaqi, Rasulullah  melarang melakukan ‘azl atas istri yang merdeka kecuali atas izinnya.

Namun, Ustadz Sarwat juga menjelaskan, hukum dapat berubah seperti dari wajib berubah menjadi haram. Ia menjelaskan, sesuai karakteristik syariat Islam, hukum-hukumnya sangat dinamis, sesuai dengan ilatnya. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah, hukum itu akan berubah sesuai dengan ilatnya, ada atau tidak adanya. Maka, menurut Ustadz Sarwat, suatu kewajiban bisa saja kemudian berubah menjadi keharaman atau sebaliknya. Semua dikaitkan dengan ilat yang berlaku pada tiap kasusnya. Karena itu, kewajiban istri melayani suami dapat menjadi haram apabila ada ilat yang membuatnya menjadi haram.

"Dalam kasus yang ditanyakan, kewajiban melayani suami untuk melakukan hubungan seksual berubah menjadi keharaman karena ada ilat yang membuatnya menjadi haram. Keharamannya adalah apabila dikhawatirkan terjadi mudarat, yaitu istri yang sakit berbahaya dan menularkan penyakitnya itu kepada suaminya, atau juga berlaku sebaliknya. Misalnya, istri atau suami mengidap penyakit yang berbahaya. Kalau sampai berhubungan badan dengan pasangannya, khawatir pasangannya itu akan tertular penyakit yang berbahaya itu," tutur Ustadz Sarwat kepada Republika

"Dalam hal ini, istri atau suami itu justru berdosa kalau sengaja melakukan hubungan badan, apalagi dia tidak mengaku telah mengidap suatu penyakit dan pasangannya tidak tahu kalau dirinya berisiko menularkan penyakit yang berbahaya. Maka, kesalahannya jadi berlipat," kata dia menambahkan.

Menurut Ustadz Sarwat, kasus penolakan istri terhadap ajakan suami seperti itu perlu dilihat secara lengkap. Menurut dia, bila ada dua dalil yang saling bertabrakan, salah satunya lebih diutamakan. Dalam hal ini, kewajiban melayani suami dengan melakukan hubungan badan menjadi gugur karena adanya mudarat yang lebih besar, yaitu risiko menularkan penyakit.

Ustadz Sarwat menjelaskan, terdapat kaidah yang sering digunakan oleh para ulama, misalnya menolak mafsadat lebih diutamakan daripada meraih kebaikan. Segala yang merusak itu dihilangkan serta kaidah tidak boleh memberi mudarat atau menerima mudarat. 

Ustadz Sarwat memberikan catatan bahwa keharaman berhubungan badan antara suami istri hanya berlaku bila kekhawatiran itu berasalan kuat, dengan dasar kepastian dari dokter bahwa suami istri bisa saling menulari. "Namun, manakala hanya berdasarkan asumsi saja, wajib atas keduanya untuk meminta kepastian dari pihak dokter. Sebab, masalah semacam ini sangat peka. Kalau pendekatannya kurang baik, bisa membuat rumah tangga jadi pecah. Karena itu, sebaiknya berpikir hati-hati, diskusikan dengan pasangan, dan tidak termakan gosip, hoaks, ataupun sekadar latah ikut-ikutan informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya," kata dia.

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement