Kamis 16 Apr 2020 15:08 WIB

Mimpi Alumni UMM Dirikan Miniatur Lembaga Pendidikan

Berkontribusi di dunia pendidikan itu panggilan jiwa Muhammad Ali Wahyudi

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Gita Amanda
Alumni Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhammad Ali Wahyudi.
Foto: dok. Humas UMM
Alumni Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhammad Ali Wahyudi.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tidak ada larangan bagi siapapun untuk bermimpi tinggi. Hal ini termasuk bercita-cita mendirikan miniatur lembaga pendidikan.

Adalah Muhammad Ali Wahyudi, seorang pria yang pernah berkeinginan mendirikan sebuah miniatur lembaga pendidikan sederhana. Kini alumni Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini telah berhasil mencapai targetnya tersebut. Antara lain dengan mendirikan pondok pesantren modern, Tazkia Internasional Islamic Boarding School (IIBS) di Malang, Jawa Timur (Jatim).

Baca Juga

Semasa kuliah, Ali mengaku tidak terlalu menonjol dalam bidang akademik. Namun ia memiliki semangat meningkatkan kemampuannya di bidang wirausaha. Tak hanya itu, dia juga tekun mengasah keterampilan di bidang lainnya.

"Mulai dari ngaji ke kiai-kiai salaf, ikut seminar nasional hingga berjualan," kata Ali dalam pesan resmi yang diterima wartawan, Kamis (16/4).

Di masa kuliah, Ali pernah menunda pembayaran SPP demi mengikuti seminar motivator nasional. Motivator-motivator yang pernah diikutinya seperti Tung Desem Waringin, Mario Teguh, Bob Sadino, Helmi Yahya, Reza M. Syarief, Purdie E. Chandra dan pakar pendidikan Prof. Dr. Arief Rachman (Pendiri Lab School Jakarta). Pengetahuan yang didapatkannya ini cukup berpengaruh pada jiwa pendidikan dan wirausahanya.

Selain berdagang, Ali juga aktif mengajar sejak masa kuliah. Menurutnya, berkontribusi di dunia pendidikan itu panggilan jiwa. Oleh sebab itu, dia sempat mengajar di Madrasah Pesantren Wahid Hasyim Malang, Pondok Pesantren Ar Rohmah Malang, lalu Al-Izzah IIBS Batu.

Ali setidaknya memiliki pengalaman mengajar selama 13 tahun. Setelah itu, dia berkeinginan untuk belajar lebih mandiri. "Karena saya punya prinsip lebih baik menjadi ikan besar di kolam yang kecil daripada menjadi ikan kecil di kolam yang besar. Karena memperbesar kolam itu jauh lebih gampang dan lebih cepat dari pada menunggu besarnya ikan,” ujar pria asal Pamekasan ini.

Pada 2005, Ali memutuskan mimpi mulianya dengan membantu pendidikan anak yatim. Lalu berdiri panti asuhan Permata Mulia yang berisi anak-anak yatim. Namun karena menggunakan finansial pribadi,  Ali hanya mampu membiayai enam orang anak.

Mulai dari situ, Ali pun berpikir memperbaiki manajemen lembaga pendidikannya agar dapat menggunakan subsidi silang. Kemudian hal ini berhasil diwujudkannya di Tazkia International Islamic Boarding School (IIBS), Malang, Jatim.  "Sejak awal berdiri sampai saat ini dan mudah-mudahan bisa naik lagi, 10 persen dari penerimaan santri Tazkia itu untuk yatim dan dhuafa. Makanya, saya kasih tagline, Tazkia, pesantren elit yang peduli wong alit,” katanya.

Untuk menguatkan langkahnya, Ali mencari orang-orang yang sepandangan dengannya. Dia menggaet para ustaz dan kiai yang ikhlas. Selain itu, orang kaya yang peduli dan individu pintar serta berkemampuan baik juga.

“Dan gabungan orang alim, orang kaya, orang pintar itulah yang saya jahit dengan ilmu yang namanya resources integrator," jelasnya.

Sejak awal, Ali memahami tidak bisa sendirian dalam membangun cita-citanya. Kesuksesan dapat tercapai dengan melakukan secara bersama dengan orang-orang hebat lainnya. Tak hanya pengalaman, tapi juga diperlukan keilmuan yang baik termasuk finansial mencukupi.

Ali berharap, keberadaan Tazkia IIBS dapat menjawab kebutuhan umat saat ini. Pasalnya, ia sering menemukan orang tua yang rindu dengan suasana pesantren. Mereka ingin anak-anaknya bisa merasakan pengalaman pendidikan di lembaga tersebut.

"Namun sayang, si anak sudah tidak compatible dengan pesantren di mana mereka harus masak sendiri, harus mencuci sendiri dan lain-lain," ucap Ali.

Menurut Ali, sebagian besar Muslim di perkotaan ingin menyekolahkan anaknya di pesantren salaf. Namun keinginan tersebut agak sulit tercapai dengan beberapa faktor. Oleh sebab itu, para orang tua tersebut lebih memilih sekolah internasional tanpa dilihat latar belakang agamanya.

Ali bertahap, Tazkia mampu memadukan tradisi salaf dalam pengajarannya. Oleh karena itu, ia menggunakan kitab berstandar internasional.

Saat ini, santri Tazkia IIBS sudah inden sampai lima tahun ke depan. Sementara jumlah santrinya kurang lebih 1.800an dan semuanya berbayar. "Itu artinya, ke depan akan ada 180 yatim duafa nanti yang akan sekolah di Tazkia," kata Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement