Rabu 15 Apr 2020 15:31 WIB

Neraca Dagang Surplus, Ekonom: Kita Belum Sehat Sepenuhnya

Surplus neraca lebih karena impor yang tertekan dibandingkan kenaikan ekspor.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan, neraca dagang sepanjang kuartal pertama yang mengalami surplus 2,62 miliar dolar AS belum dapat menggambarkan kondisi sehat secara penuh. Sebab, hasil tersebut didorong kinerja impor yang turun lebih dalam dibandingkan ekspor.
Foto: Republika
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan, neraca dagang sepanjang kuartal pertama yang mengalami surplus 2,62 miliar dolar AS belum dapat menggambarkan kondisi sehat secara penuh. Sebab, hasil tersebut didorong kinerja impor yang turun lebih dalam dibandingkan ekspor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan, neraca dagang sepanjang kuartal pertama yang mengalami surplus 2,62 miliar dolar AS belum dapat menggambarkan kondisi sehat secara penuh. Sebab, hasil tersebut didorong kinerja impor yang turun lebih dalam dibandingkan ekspor.

Yusuf mengatakan, berita baiknya adalah perkembangan ekspor ke China mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Artinya, Negeri Tirai Bambu tersebut sedang melakukan recovery ekonomi. 

Baca Juga

"Ini berita baik karena China merupakan mitra dagang utama ekspor kita," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (15/4).

Tapi, Yusuf menekankan, pemulihan ekonomi China sebenarnya bagaikan dua mata pisau bagi Indonesia. Pasalnya, China merupakan salah satu importir terbesar ke Indonesia. Pada periode Januari hingga Maret 2020, pangsa impor nonmigas terbesar bagi Indonesia adalah China dengan kontriibusi hingga 26,34 persen dari keseluruhan impor.

Dengan kondisi tersebut, pemerintah perlu lebih sigap dalam menangkap sinyal perbaikan ekonomi China. Yusuf mengatakan, jangan sampai dalam waktu pendek, neraca dagang Indonesia mengalami defisit karena pertambahan impor yang lebih besar dibandingkan ekspor, khususnya dari China.

Apalagi, apabila merujuk pada data tren  terakhir, pertumbuhan impor terbesar justru terjadi pada barang konsumsi (7,11 persen). Sedangkan, bahan baku/penolong dan barang modal mengalami kontraksi masing-masing 2,82 persen dan 13,07 persen sepanjang kuartal pertama. "Padahal, barang modal sifatnya dibutuhkan industri untuk ekspor yang nilai tambahnya lebih besar," kata Yusuf.

Yusuf memprediksi, neraca dagang Indonesia berpotensi mengalami defisit pada kuartal-kuartal berikutnya. Asumsi ini dengan skenario ekonomi China terus mengalami perbaikan dari waktu ke waktu dan tren impor barang modal yang belum bisa pulih ditambah kenaikan impor barang konsumsi.

Di sisi lain, industri dalam negeri belum mampu menggenjot ekspor lebih besar. "Dengan faktor-faktor ini, potensi terjadinya defisit neraca dagang semakin membesar," ujar Yusuf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement