Rabu 15 Apr 2020 10:01 WIB

Jawaban Buya Hamka Saat Ditanya Allah Dibahasakan Laki-Laki?

Seseorang bertanya ke Buya Hamka benarkah Allah dibahasakan Laki-Laki?

Jawaban Buya Hamka Saat Ditanya Allah Dibahasakan Laki-Laki?. Foto: Buya Hamka
Foto: hasanalbanna.com
Jawaban Buya Hamka Saat Ditanya Allah Dibahasakan Laki-Laki?. Foto: Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Majalah Gema Islam No 10 yang terbit pada 15 Juni 1962, Prof Dr Hamka atau yang lebih dikenal dengan  Buya Hamka mendapat pertanyaan dari seorang pembaca bernama Willem Lukas. Pembaca yang menyebutkan beralamat di Banjarmasin itu mempertanyakan mengapa di Alquran banyak terdapat ayat yang menyebutkan zat Allah dengan kata pengganti 'huwa'.

Willem mencontohkan, 'Qul hu Wa'llahu ahad?'. Menurutnya hal itu menunjukkan bahwa tata bahasa (ilmu nahwu) kata huwa itu pengganti orang ketiga laki-laki yang disebut Muzakkar.

Baca Juga

"Tidakkah itu apriori bertentangan dengan Tauhid dan ayat Alquran sendiri yang berbunyi

laisa kamiṡlihī syaī` (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya/QS: Asy Syura:11) dan  wa lam yakul lahu kufuwan ahad (dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia/QS: Al Ikhlas:4)".?" tanya Willem.

"Bukankah menurut kepercayaan umat Islam Alquran itu kalamullah? Tidakkah amat mustahil dan paradoksal nampaknya di mana ayat-ayatnya berlawanan?" tanya Willem menambahkan.

Mendapat pertanyaan itu, Buya Hamka meminta agar penanya (Willem Lukas) jangan sampai paradoksal membaca ayat dan mendalami akidah Islam atau akidah segala agama. Buya Hamka meminta penanya bisa membedakan di antara dasar akidah dengan pemakaian bahasa.

Menurut Buya Hamka, dalam tata bahasa Arab, ada kata ism (nama-nama) yang dimuzzakarkan (dilaki-lakikan) meskipun dia sendiri bukan laki-laki dan ada pula ism yang dimuannaskan, meskipun dia bukan wanita.

Misalnya baitun yang artinya rumah. Dia disebut ism muzakkar.

"Kata itu sendiri yang muzakkar, yaitu dilaki-lakikan, bukan rumahnya yang langsung jadi laki-laki. Maka jika kata baitun menjadi orang ketiga, dihukumkanlah dia memakai dhamir Huwa. Padahal Huwa dipakai juga untuk orang-orang laki-laki yang ketiga (dhamir ghaib)," kata Buya Hamka.

Kemudian, lanjut Buya Hamka, Tuhan Allah tidaklah laki-laki. Tetapi kalimat Allah dalam perhubungan tata bahasa dijadikan muzakkar (Muzakkar adalah ism maf'ul, artinya yang tepat adalah kata itu dilaki-lakikan. Bukan Zat Allah Ta'ala yang diciptakan oleh ahli bahasa menjadi seorang laki-laki).

Dalam bahasa Belanda pun, ada ism yang manelijk (dilaki-lakikan) dan vrowelijk (diperempuankan). Yang lucunya pula, disebut buyutun yang menurut hukum bahasa dia dimuannaskan pula dimaksudkan dalam kata yang diwanitakan.

Bukan rumah-rumah itu yang beralih kelamin jadi wanita, sebab telah banyak melainkan menurut hukum tata bahasa segala kalimat jama' adalah muannas. Kecuali muzakkar salim.

Yang lebih lucu lagi, kata Buya Hamka, dua kata untuk wanita dan terang-terang terjadi pada wanita dihilangkan tanda wanitanya. Yaitu Hamilun (perempuan hamil) dan Haidlun (perempuan sedang datang bulan).

Padahal menurut hukum umum, kejadian-kejadian dan sifat-sifat wanita harus diberi tanda wanitanya (taatanits atau taa-marbuthah).

"Maka pada hamilun atau haidlun tidak perlu dipakai tanda wanita, sebab memang tidak ada laki-laki yang mengandung membawa bulan," kata Hamka.

Maka, lanjut Buya Hamka, kaliamt Allah atau segala sifat-sifat Allah tersusun jadi kata sebagai hayyun, qadirun, ghafurun, dan lain-lain dihukumkan menurut tata bahasa menjadi muzakkar. Dilaki-lakikan menurut hukum bahasa.

Bukan Zat Tuhan Allah yang menjadi laki-laki-laki. Demikianlah pemakaian bahasa Arab dan terdapat juga aturan-aturan tata bahasa menyerupai itu dalam bahasa yang lain. Sehingga, tidak ada orang yang berpikiran lagi karena memakai tata bahasa kita telah paradoksial, kita telah berkacau-balau menjadikan Zat Allah yang Maha Kuasa menjadi laki-laki.

Rajulun seorang laki-laki dibahasakan huwa. Willem Lukas (penanya) dibahasakan menjadi huwa, baitun (rumah) dibahasakan huwa juga. Qolamun (pena) dibahasakan huwa juga.

Maka, tidak seorang pun yang menyangka bahasa bahasa begitu paradoksial. Sehingga, Allah, rumah, pena, dan Willem Lukas jadi serupa.

Kecuali, lanjut Buya Hamka, kalau misalnya kalau Willem Lukas dapat menciptakan bahasa baru, untuk mengubah segala tata bahasa yang telah berlaku itu. Sehingga, untuk kata Allah dicarikan 'orang ketiga' yang lain.

Buya Hamka melanjutkan, ketika jadi orang pertama Tuhan Allah membahasakan dirinya Ana (saya), Sadara Willem Lukas pun membahasakan dirinya Ana (saya). Tidak seorang pun yang memandang itu paradoksal atau berpaham jika Willem Lukas membahasakan dirinya Saya, akan langsung dikatakan dia menyamakan dirinya dengan Allah.

Malahan kalau memanggil Tuhan (Jadi orang kedua), dibahasakan Anta, artinya Engkau. Suadara Willem Lukas di bahasakan pula oleh ayahnya Engkau. Tidak ada orang yang mengatakan bahwa pemakaian bahasa demikian suatu paradoksal.

Menurut Buya Hamka, sang penanya (Willem Lukas) sendiri ketika bertanya telah memakai istilah tata-bahasa Indonesia 'Orang ketiga' untuk kata-kata huwa yang bahasa Indonesianya Dia. Mengapa kepada Allah disebut orang ketiga? Apakah Zat Tuhan Allah itu seorang orang? Sekali-kali tidaklah terlintas di pikiran Saudara Willem Lukas bahwa Tuhan Allah sendiri yang menjadi orang, melainkan kalimat huwa atau Dia menurut tata bahasa disebut 'Orang ketiga'.

Buya Hamka mengatakan, di sini mengertilah kita bahwa hukum tata bahasa janganlah dicampur aduk dengan akidah. Dalam akidah, Zat Allah bukanlah laki-laki dan bukan perempuan.

"Dalam hukum tata bahasa kalimat Allah dimuzakkarkan. Artinya dilaki-lakikan. Dan tidak berdoa kalau hanya me'laki-lakikan' kalimat karena Tuhan Allah tidak akan jadi laki-laki lantaran itu," tutup Buya Hamka.

Sumber: Hamka Membahas Soal-Soal Islam/Pustaka Panjimas

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement