Selasa 14 Apr 2020 17:04 WIB

MUI Menilai Fatwa Larangan Mudik Lebaran tidak Perlu

Larangan mudik sudah terangkap dalam fatwa ibadah selama wabah.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Wakil Ketua Umum MUI, KH Muhyiddin Junaidi, menilai larangan mudik sudah terangkum dalam fatwa ibadah MUI.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua Umum MUI, KH Muhyiddin Junaidi, menilai larangan mudik sudah terangkum dalam fatwa ibadah MUI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum berencana dan bahkan memandang tidak perlu mengeluarkan fatwa terkait mudik selama lebaran. Hal ini karena sebelumnya MUI telah mengeluarkan fatwa yang merinci perihal pandemi Covid-19 (corona).   

Wakil Ketua Umum MUI, Muhyiddin Junaidi, mengatakan fatwa tersebut dikeluarkan pada Maret lalu nomor 14 tahun 2020, tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadinya covid-19. 

Baca Juga

"Tidak dibutuhkan fatwa, ada klausal, apabila disebut suatu wilayah situasinya tidak terkendali, maka kita tidak melakukan kegiatan yang menghadirkan banyak orang, memang kunjungan mudik akan menimbulkan masalah, itu bagian dari fatwa, dan MUI tidak perlu lagi mengeluarkan fatwa," kata Muhyiddin, Selasa (14/4). 

MUI mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan mudik lebaran. Apabila seseorang dalam kondisi sehat, namun di tempat tujuan dikhawatirkan akan terinfeksi, maka juga tidak disarankan untuk mudik.

"Maka lebih baik itu kita melakukan semuanya di rumah, sholat tarawih di rumah, menunda untuk mudik dengan harapan agar tidak terjangkit Covid-19," ucap Muhyidin.    

Adapun sejumlah fatwa yang terlah dikeluarkan yakni, fatwa pertama, setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama.

Kedua, orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. 

Baginya sholat Jumat dapat diganti dengan sholat Zuhur di tempat kediaman, karena sholat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.  

Ketiga, orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar covid-19, harus memperhatikan dua hal: Pertama, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka boleh meninggalkan sholat Jumat dan menggantikannya dengan sholat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah sholat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.

Kedua, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka dia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus Corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan),  membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.

Fatwa keempat, dalam kondisi penyebaran covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan sholat  jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan sholat  zuhur di tempat masing-masing.

Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran covid-19, seperti jamaah sholat  lima waktu/ rawatib, sholat  Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

Kelima, dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan sholat Jumat. 

Keenam, pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement