Selasa 14 Apr 2020 07:06 WIB

Seekor Kucing Datang Menginap

Kucing itu mengeong-ngeong di depan pintu.

Seekor Kucing Datang Menginap
Foto: Rendra Purnama/Republika
Seekor Kucing Datang Menginap

REPUBLIKA.CO.ID, Pada malam ketujuh, Ali Umar yakin anaknya bakal terbang ke langit tinggi. Jam demi jam berlangsung sepi. Ia berdiri berkacak pinggang setelah melepas napas besar di ruang tamu. Kursi dan meja masih terpisah-pisahsebagian di halaman, yang lain di kamar tidur anaknya.

Di atas karpet yang dihamparkan di sana, piring-piring bekas makanan dan gelasgelas kopi serta teh teronggok menunggu Ali Umar turun menangani. Tahlil dan kirim doa kematian baru saja selesai. Dadanya masih sesak. Matanya kadang-kadang masih tak mampu membendung lelehan air mata.

Istrinya menepuk pundaknya ketika seekor kucing mengeong pelan dan berjalan mantap tanpa menoleh melangkahi ambang pintu. Istrinya yang semenjak hari kedua kematian anaknya kehilangan hampir delapan puluh persen suara karena kebanyakan menangis dan meraung, menunjuk-nunjuk kucing itu.

Ali Umar tahu istrinya tak suka kucing. Perempuan itu alergi terhadap segala jenis bulu binatang dan bulu kucing bisa membuatnya sesak napas dan gatal-gatal.

Kucing itu kemudian menggelut kaki Ali Umar. Istrinya berjingkat dan balik ke dapur bersama beberapa piring yang bisa di bawanya. Ali Umar mencengkeram tengkuk si kucing dan membawanya ke halaman, lantas menurunkannya pelan. "Sudah, jangan masuk," katanya.

Ia pergi ke dapur, mengambil sepotong ayam goreng, lantas keluar lagi dan melemparkannya ke depan si kucing. Namun, si kucing hanya menatapnya dan kembali mengeong pelan.

Ali Umar mengabaikan tatapan memelas si kucing, kemudian kembali masuk ke dalam rumah, mengangkat piring dan gelas kotor, menggulung karpet, meminta bantuan Sadikin si tetangga sebelah kanan rumah untuk mengembalikan meja dan kursi ke ruang tamu, lalu menghempaskan dirinya yang capek lahir batin ke atas kasur.

Istrinya menyusul tak lama kemudian. Lalu, suara ngeong kucing terdengar lagi. Dengan sebal, Ali Umar bangun, berjalan keluar kamar dan menemukan si kucing di ruang tengah di depan kamar anaknya tengah mencakar-cakar pintu.

Kucing itu adalah seekor kucing jantan. Tak terlalu besar dengan dominasi warna putih pada bulu-bulunya yang dihiasi petak-petak hitam di perut bawah dan paha belakang kiri serta percikan merah di mata kanan hingga kening dan daun kuping kanannya. Ada sedikit kotoran kering di sudut kedua matanya.

Lubang kupingnya dipenuhi bulu-bulu panjang dan gundukan kotoran hitam, menandakan kucing itu tidak terlalu terawat. Namun, Ali Umar tahu, kucing itu kepunyaan Baidi (atau lebih tepatnya, Baidilah yang paling sering menggendong dan memberi makan si kucing meski si kucing kerap berkeliaran di rumah-rumah lain), putra Pak Sadil di ujung jalan sana.

Baidi teman sepermainan anaknya dan satusatunya saksi ketika anaknya melompat ke kolam besar bekas galian batu milik perusahaan Bupati Mustafa untuk mengambil sandalnya yang jatuh, lantas tenggelam dan tak terselamatkan.

"Ayo pulang sana," seru Ali Umar. Kakinya mendorong-dorong perut si kucing. Si kucing mengeong. Napas binatang itu terdengar kasar. Mungkin ia menderita bengek.

Tubuh kucing itu lentur hingga dorongan-dorongan kaki Ali Umar tidak langsung membuatnya terdorong, melainkan hanya melengkung. "Kamu tidak boleh di sini," kata Ali Umar lagi.

Lantas, dengan tidak sabar, ia berjongkok, mengangkat kucing itu di tengkuknya seperti yang beberapa saat lalu ia lakukan, lantas menjinjingnya keluar dan menaruhnya di halaman. Sebelum si kucing kembali masuk ke dalam rumah, Ali Umar buru-buru menutup pintu.

Kucing itu mengeong-ngeong di depan pintu dengan lebih sengit. Istri Ali Umar mendengar ribut-ribut si kucing, lantas keluar kamar, dan dengan susah payah dibantu isyarat tangan mengatakan mungkin saja si kucing lapar. "Aku sudah memberinya sepotong paha ayam goreng sisa tahlilan tadi," kata Ali Umar.

"Sudah, biarkan saja. Aku capek," tambahnya.

Mereka kurang tidur. Kesedihan membuat mereka kesulitan memejamkan mata meski badan terasa remuk. Mereka tahu, meski sudah tujuh hari berlalu, mereka masih kesulitan menerima fakta bahwa putra semata wayang mereka telah meninggal. Bocah itu masih enam tahun, masih sekitar empat bulan masuk sekolah dasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement