Senin 13 Apr 2020 19:49 WIB

2 Syarat Salaman Lawan Jenis Boleh Menurut Syekh Qaradhawi

Syekh Yusuf Qaradhawi membolehkan salaman lawan jenis dengan 2 syarat.

Syekh Yusuf Qaradhawi membolehkan salaman lawan jenis dengan 2 syarat. Ilustrasi salaman.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Syekh Yusuf Qaradhawi membolehkan salaman lawan jenis dengan 2 syarat. Ilustrasi salaman.

REPUBLIKA.CO.ID, Jika berpedoman pada pendapat ulama-ulama salaf, memang tak ada toleransi yang memperbolehkan untuk berjabat tangan dengan nonmahram. 

Namun, ulama kontemporer mengembangkan hukum fikih ini pada fiqh aulawiyat. Persoalan dirasa tak cukup jika hanya memakai hukum asalnya saja.

Baca Juga

Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, dalam Fiqh Aulawiyat, ada dua toleransi yang diberikan dalam persoalan ini. 

Pertama, pengharaman hukum berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satu pihak, baik pihak laki-laki maupun wanita. Atau, di belakang itu dikhawatirkan akan terjadinya fitnah.

Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya, yang pada asalnya mubah itu, bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah.  Khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya 

Kedua, dibolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki. Demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki. Karena, berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa dia pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya. Maka, wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. Hal ini diambil Qardhawi sebagai dalil walau banyak kalangan yang mendhaifkan riwayat ini.

Hal ini sudah ditunjukkan Alquran dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung) dan tiada gairah terhadap laki-laki, di mana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain.

Allah SWT berfirman, "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS an-Nur [24]: 60).

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

Lebih dari itu bahwa masalah Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu baiat itu belum disepakati. Karena, menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah RA, Nabi SAW pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat. Berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA di mana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Lalu, sikap seperti apa yang harus dijalankan seorang Muslim dan Muslimah ketika mendapat uluran tangan lawan jenis yang nonmahram kepadanya? 

Qardhawi menekankan dua hal dalam persoalan ini untuk mengambil sikap. Pertama, berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah.

Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya atau disertai syahwat dan taladzdzudz dari salah satunya atau bahkan keduanya, keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.

Seandainya syarat ini tidak terpenuhi, yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah, meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya, seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan, berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Syarat kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab di antara mereka. Dan, tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi SAW.

Tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain yang bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat. Namun, yang lebih utama bagi seorang Muslim atau Muslimah yang berkomitmen pada agamanya, janganlah memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Namun, apabila diajak berjabat tangan, barulah ia menjabat tangannya.  

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement