Senin 13 Apr 2020 16:34 WIB

Mas AE, Pengembara Pergerakan Intelektualisme

AE Priyono, seorang aktivis dan pemikir, meninggal dunia karena sakit

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha, Mantan Pemimpin Redaksi Republika

Saya pertama mengenal Mas AE, begitu kami di Republika biasa memanggilnya, justru secara ‘tekstual’ -- istilah yang mungkin tak lazim namun perlu dibiasakan untuk membedakannya dengan mengenal secara virtual. Ya, saya mengenal Mas AE lewat dua buku yang ia sunting: buku Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi dan buku Dinamika Sejarah Umat Islam (buku yang ini disunting bersama Lukman Hakiem).

Buku yang pertama diterbitkan Mizan pada 1991 dan buku yang kedua diterbitkan Shalahuddin Press pada 1985. Kedua buku itu karya Kuntowijoyo, sejarawan dan cendekiawan UGM Yogyakarta. Saya bersyukur kemudian bisa mengenalnya secara fisik, saat saya bekerja di koran Republika.

Mas AE di litbang, sedangkan saya di redaksi. Tentu Mas AE jauh di atas saya, sedangkan saya cuma kroco. Buku Paradigma Islam telah menjadi klasik dan terbit berulang kali, termasuk terbit edisi collectable yang hard cover.

AE Priyono, begitu ia lebih suka menuliskan namanya. AE adalah singkatan dari Anang Eko. Teman-teman dekatnya biasa memanggilnya Anang. Hal itu misalnya ditunjukkan oleh Asmar Oemar Saleh, seorang advokat. Asmar dan AE sama-sama lulusan Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. AE pernah menjadi ketua HMI di tingkat komisariat.

Namun ia lebih moncer sebagai pemimpin redaksi Muhibbah, majalah kampus yang disegani pada masanya. Majalah ini kemudian dibredel pemerintah Orde Baru sehingga harus berganti nama menjadi Himmah. Di masa Orba, majalah kampus yang dikelola mahasiswa pun harus memiliki izin dari pemerintah pusat.

Di Republika, AE tak hanya di Litbang tapi juga kemudian menjadi salah satu redaktur. AE seorang yang pendiam dan serius. Dunia wartawan yang riuh memang tak pas buat dirinya. Sebelum di Republika, ia pernah ikut mengelola Majalah Kiblat. Di sini pun tak lama.

Ia pernah di lembaga penelitian LP3ES, sebuah lembaga tanki pemikir yang disegani di masanya. Lembaga ini menerbitkan jurnal bergengsi Prisma. Para cendekiawan top banyak matang di sini seperti M Dawam Rahardjo, Daniel Dhakidae, Aswab Mahasin, Fachry Ali, Ismid Hadad, dan lain-lain. Ia juga pernah di LSPEUI yang dipimpin Fachry.

Ia juga pernah di Masika ICMI, wadah para intelektual muda ICMI di masa awal ICMI. Pengelanaannya juga merambah di ISAI bersama Ulil Abshar-Abdallah dan Demos bersama Asmara Nababan. Terakhir ia di Reform Institute bersama Asmar dan Yudi Latif. AE tak pernah berlama-lama dalam sebuah institusi. Jiwanya sangat merdeka, karakternya lebih cocok sebagai orang pergerakan tapi di jalur kecendekiaan.

Karena itu, di mana-mana ia berkutat dengan tulis menulis di bidang pemikiran. Kecintaannya pada Kuntowijoyo mencerminkan karakter dirinya. Kuntowijoyo adalah seorang cendekiawan yang sangat produktif dengan tulisan yang sangat mendalam, orisinal, dan tulisannya berat untuk dicerna.

Konstruksi kalimatnya sangat padat dengan ide. Boleh dikata tak ada kalimat kosong yang berbusa-busa. Namun uniknya, tulisannya selalu panjang. Tulisan-tulisan Kuntowijoyo di media massa pun selalu panjang, bahkan bisa dimuat serial.

Gaya menulis AE pun demikian: berat dan padat. Namun yang membedakannya adalah tulisan AE terasa lebih bertenaga. Jika tulisan Kuntowijoyo kalem, maka tulisan AE cadas. Bagi yang tak cukup mengenalnya, AE akan dinilai ketus. Status-status di facebooknya, terutama soal Anies Baswedan akan membuat para pendukungnya bisa terbelalak. Sesekali ia juga akan keras pada Jokowi. AE memang seorang yang independen dan apa adanya, bahkan pilihan diksinya bisa kasar.

Saat LP3ES akan direvitalisai, setelah kiprah lembaga ini lama tak terdengar, AE ditunjuk menjadi direktur eksekutif. Pada saat itulah saya menawarkan untuk dilakukan kerja sama dengan Republika. Saat saya menjadi pemimpin redaksi di Republika, saya ingin media koran bisa menghadirkan oase pemikiran.

Karena itu, sepekan sekali, tiap Kamis, terbit empat halaman artikel-artikel yang relatif mendalam. Repubika menjalin kerja sama dengan Indef melahirkan rubrik Ekonomia, bekerja sama dengan IPB melahirkan rubrik Iqtishadia, bekerja sama dengan LP3ES melahirkan rubrik Civica, dan bekerja sama dengan Insists melahirkan rubrik Islamia. Dengan demikian, masing-masing terbit satu bulan sekali. Seiring berakhirnya tugas AE sebagai direktur eksekutif di LP3ES, kerja sama itu juga ikut berakhir.

Namun saya masih beberapa kali berjumpa dengan AE saat ada diskusi di kantor Reform Institute yang digawangi Asmar di kawasan Pancoran. Selebihnya bisa dijumpai di laman facebooknya. Ia menjadi admin di grup Forum Yogya yang kemudian diubah menjadi grup Esoterika-Islamika, yang spiritualis.

Ia gemar membagikan e-book untuk buku-buku yang sangat serius. Di awal buku Yuval Noah Harari baru terbit, saya menginfokan tentang buku tersebut dan ia langsung berburu e-booknya. Ia seorang pembelajar dan pembaca yang tekun. Tak heran, di mana pun ia menjejak, di situ akan lahir buku. Sebagai pengelana, ia lebih suka menjadi penyunting.

Dalam rubrik Civica, AE menggagas tentang civic Islam. Ia berbicara tentang konsep kewargaan di era demokratisasi. Ia melihat bahwa gagasan tentang kewargaan sedang diperebutkan oleh tiga kekuatan: politisi, pemodal, dan kelompok agama.

Oleh politisi, warga hanya diperlakukan sebagai voters, oleh pemodal hanya dianggap sebagai konsumen melalui ukuran daya beli, dan oleh kelompok agama hanya dilihat sebagai jamaah. Menurutnya, kewargaan bukan hanya identitas individual yang primordial tapi juga mengemban hak-hak kolektif dalam kesatuan entitas kenegaraan. Dalam konteks Islam, civic Islam berarti mengembangkan praksis Islam dalam spirit Islam dan Indonesia sekaligus.

Gagasan kewargaan atau citizenship memang sedang ramai di kalangan akademisi dan pergerakan di era demokratisasi ini. Karena isu ini memang yang substansial setelah gagasan demokratisasi telah terwujud secara formal melalui reformasi.

Namun isi demokrasi itu sendiri masih menjadi tantangan tersendiri. Jika merujuk pada gagasan Kuntowijoyo tentang tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam Indonesia seperti ditulis dalam buku Dinamika Sejarah Umat Islam, maka ide civic Islam ini masih dalam garis kontinumnya.

Kunto membagi tahap kesadaran sosial umat Islam Indonesia ke dalam empat tahap: kawulo, wong cilik, umat, dan warga negara. Nah, dalam tahap warga negara ini AE menggagas gerakan civic Islam. Tak hanya dalam tulisan, ia juga melakukan modelling di lapangan. Di antaranya ia melakukan gerakan praksis di Bandung melalui Faiz Manshur.

Di setiap persinggahan ia selalu melahirkan buku. Saat bersama Usman Hamid dkk mendirikan Public Virtue Institute, bersama tiga kawannya ia menulis buku tentang media sosial sebagai alat gerakan sosial. Buku ini bukan sekadar hasil permenungan dan hasil studi kepustakaan, tapi juga melakukan riset lapangan.

Ada sejumlah sampel, termasuk kasus pilkada DKI Jakarta. Bukunya diberi judul Media Sosial Alat Gerakan Sipil; Belajar dari Suksesi Jakarta & Masa Depan Indonesia. Buku ini mengisahkan bagaimana masyarakat bisa berkontribusi besar mengisi demokrasi melalui pemanfaatan media sosial. Bersama Usmad Hamid, mantan koordinator Kontras, AE juga melahirkan buku tebal berjudul Merancang Arah Baru Demokrasi; Indonesia Pasca-Reformasi. Buku 899 halaman ini memiliki berat 1,3 kg.

Buku ini khas AE, merupakan kumpulan karangan. Namun ide dasarnya yang terpenting: bagaimana mengisi demokrasi dengan penguatan masyarakat dengan menghadirkan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.

Saat di Masika-ICMI, ia bersama Abdul Mun’im DZ, Andrinof A Chaniago, dan Hamid Basyaib menerbitkan buku yang berjudul Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda. Buku ini merupakan kumpulan makalah dari peserta, yang berasal dari lintas budaya dan lintas agama.

Dalam kata pengantarnya ada semacam pembelaan terselubung terhadap ICMI, yang saat itu dicurigai sebagai rekayasa penguasa. Inilah tulisan para editornya: “Apakah kelahiran ICMI murni merupakan gejala (lebih tepat: rekayasa) politik, dan lepas sama sekali dari perkembangan sosiologi kecendekiawanan di Indonesia, khususnya di kalangan muslim? Jika cendekiawan muslim adalah bagian dari gejala kecendekiawanan tersebut, mungkinkah kita mengabaikan arti pentingnya bagi perkembangan sosial dan politik bangsa Indonesia?”

AE selalu berporoskan pada ide penguatan civil society, yang belakangan lebih disebut sebagai citizenship. Karena itu ia selalu berkelana dari satu wadah ke wadah lain, dari situ lingkungan ke lingkungan lain. Bisa karena sudah selesai, bisa jadi karena tempat atau wadah itu sudah tak sesuai lagi dengan gagasannya.

Perjalanan AE sendiri seperti menemukan jalan akhirnya ketika mengubah grup Forum Yogya menjadi grup Esoterika-Islamika, belum satu tahun perubahan ini. Grup ini beranggotakan 2.456 anggota . Dari grup sosial politik berubah menjadi grup spiritualitas, seolah AE sudah menemukan jalan pulangnya setelah sibuk berkelana di berbagai wadah.

Inilah status terakhirnya, yang dibuat pada 25  Februari 2020, pukul 05.00:

“Benarkah alam semesta akan berakhir dan lenyap? Mungkinkah ada alam semesta lain?”

Dalam statusnya yang panjang itu, AE mengutip pemikiran Michio Kaku, seorang fisikawan tenar dan terkemuka. Ia menyebut buku Kaku yang berjudul Parallel World (2006) dan Hyperspace (1995). Intinya, semesta ini bukan hanya satu tapi jamak, dan jaraknya jutaan bahkan miliaran tahun. Namun teori string merevisinya. Semesta lain bisa jadi jaraknya hanya satu milimeter namun berbeda dimensi. Ilmu pengetahuan belum bisa menemukan jalan untuk menembus dimensi antar alam semesta tersebut.

Mungkinkah AE sedang menembus semesta paralel di sekitar kita? Pemikirannya yang makin spiritualistik menjadi perjalanan terakhirnya. Selamat jalan Mas AE. Kini kau beristirahat di Kampung Kandang, Jakarta Selatan, setelah puluhan tahun tinggal di Depok, matang di Yogayakrta, dan lahir serta tumbuh di Temanggung.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement