Senin 13 Apr 2020 10:12 WIB
covid 19

Jurnalis dan Tantangan Peliputan Pademi Covid-19

pelipuntan Covid 19 bagi Jurnalis

Jurnalis membawa bunga mawar untuk dibagikan kepada tenaga medis rumah sakit rujukan penanganan virus Corona (COVID-19) RSUD Cut Meutia Aceh Utara, di Lhokseumawe, Aceh, Sabtu (11/4/2020). Pembagian 100 tangkai bunga dari jurnalis Posko Peliput COVID-19 itu sebagai simbol apresiasi dukungan moral kepada dokter dan tenaga medis di seluruh Indonesia yang menjadi garda terdepan dalam penanganan COVID-19.
Foto: Antara/Rahmad
Jurnalis membawa bunga mawar untuk dibagikan kepada tenaga medis rumah sakit rujukan penanganan virus Corona (COVID-19) RSUD Cut Meutia Aceh Utara, di Lhokseumawe, Aceh, Sabtu (11/4/2020). Pembagian 100 tangkai bunga dari jurnalis Posko Peliput COVID-19 itu sebagai simbol apresiasi dukungan moral kepada dokter dan tenaga medis di seluruh Indonesia yang menjadi garda terdepan dalam penanganan COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID --

Oleh: Arba’iyah Satriani, Dosen Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, mantan wartawan Republika

Menjalankan tugas sebagai jurnalis di masa pandemi seperti saat ini merupakan suatu yang dilematis, baik bagi jurnalisnya maupun bagi narasumber yang ditemui sang jurnalis. Itulah benang merah yang disampaikan dalam webinar “Covering COVID 19 : Reporting coronavirus from the US, Hong Kong dan Mainland China Rose” yang diselenggarakan oleh Institute for Journalism and Society, Hong Kong Baptist University pada Jumat (10/4) lalu.

Pada webinar yang menghadirkan para panelis dari Amerika, Hong Kong dan Cina itu disampaikan informasi mengenai tantangan, kendala sekaligus strategi yang dilakukan oleh para jurnalis saat meliput pandemi, khususnya Covid-19 yang saat ini masih berlangsung di berbagai negara termasuk Indonesia.

Jurnalis Cina, Ran An, yang bekerja sebagai kepala redaksi China Newsweek di Beijing, mengungkapkan bahwa pada awal Covid-19 ini muncul, dirinya tidak menduga bahwa Covid-19 akan menjadi pandemi seperti saat ini. Ia yang dulunya adalah dokter mengungkapkan bahwa negaranya sudah berpengalaman dalam menangani penyakit dengan level bahaya yang lebih tinggi seperti SARS dan MERS. 

Seperti diketahui SARS adalah kependekan dari severe acute respiratory syndrome yang mewabah pertama kali di Cina pada 2002 sedangkan MERS atau Middle-East respiratory syndrome muncul awalnya di Timur Tengah pada 2012.

Dikatakan Ran bahwa saat ini negaranya sudah memiliki teknologi yang jauh lebih baik dibandingkan 17 tahun yang lalu ketika SARS muncul. Karena itu, ketika reporternya melaporkan kasus ini untuk pertama kalinya, ia mengaku tak menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat serius. Ia yakin bahwa penanganan masalah ini bisa cepat dengan teknologi yang jauh lebih canggih. Namun dugaannya ternyata meleset.

Sementara Elizabeth Cheung yang merupakan reporter bidang kesehatan dari South China Morning Post di Hong Kong mengisahkan pengalamannya sebagai jurnalis di lapangan yang harus meliputi peristiwa sekaligus informasi yang terutama bersumber dari pemerintah.

Setiap sore, pemerintah resmi Hong Kong membuat jumpa pers yang dihadiri oleh para jurnalis di kota tersebut. Jumpa pers ini dilakukan untuk memberikan up date terbaru perkembangan Covid-19 hari tersebut. Kendala yang dihadapi adalah bahwa seringkali informasi hanya satu arah.

Selain itu, Elizabeth menambahkan bahwa banyak juga wartawan yang tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan yang memadai. Namun, kata dia, media hanya memberitakan yang diungkapkan narasumbernya. Ia mencontohkan mengenai perdebatan mengenai penggunaan masker.

Ada sebagian pakar mengungkapkan pentingnya masker dikenakan oleh orang sehat sementara pendapat lain mengungkapkan bahwa masker hanya untuk orang sakit. .Elizabeth mengatakan bahwa sebagai jurnalis, dirinya memotret dan menuliskan yang terjadi di lapangan dan hasil wawancara.

Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak dalam posisi untuk mengatakan bahwa pendapat satu benar sementara pendapat lain salah. Masyarakatlah yang akan menentukan berdasarkan informasi yang disampaikan media.

Sedangkan Ben C Solomon seorang  filmmaker dari Amerika yang dulunya bekerja sebagai koresponden multimedia di The New York Times mengungkapkan pengalamannya saat meliput krisis ebola di Afrika.

Menurutnya, tantangan terbesar bagi para jurnalis dalam meliput kasus pandemi adalah bagaimana melakukan liputan yang baik tetapi pada saat yang sama juga melindungi diri sendiri dan orang lain (baik narasumber atau orang sekeliling kita). Belum lagi situasi emosional yang kerap muncul saat meliput hal-hal yang menyentuh rasa kemanusiaan yang mendalam. Padahal media haruslah sebisa mungkin bersikap objektif.

Dalam sesi diskusi, muncul pertanyaan mengenai cara menyiasati informasi yang kerapkali ditutupi oleh pihak pemerintah atau data yang tidak sama antarlembaga. Ran mengungkapkan bahwa mau tidak mau kemampuan riset para jurnalis menjadi sangat penting.

Selain harus memiliki latar belakang pendidikan yang baik, dikatakan Ran bahwa kemampuan riset jurnalis merupakan hal yang sangat krusial untuk meliput kasus pandemi. Apalagi data yang disampaikan oleh pemerintah kadang-kadang memang tidak sesuai. Ia mengungkapkan sebuah strategi yang dilakukan jika pemerintah atau lembaga resmi tak segera merilis informasi yang dibutuhkan masyarakat atau yang perlu segera diketahui masyarakat,

Dikatakan Ran, meskipun tengah mengalami pandemi, namun situasi ilmiah di kalangan peneliti di negerinya sangatlah kompetitif. Para peneliti seolah berlomba menyampaikan hasil riset terbarunya terkait Covid-19. Karena itu, pihaknya akan melakukan wawancara dengan pakar atau peneliti di institusi pendidikan atau pusat riset.

Jurnalis menggali informasi dari sudut pandang para peneliti. Setelah itu, sambung penerima beasiswa Neiman Fellow ini, pihaknya akan menghubungi pemerintah untuk mengkonfirmasi data dari peneliti dengan data yang dimiliki pemerintah.

Yang menarik dari pernyataan para panelis di atas adalah mengenai upaya melakukan peliputan yang aman, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kemudian mengenai strategi dalam mencari informasi yang memadai bagi masyarakat yang merupakan konsumen informasi yang diproduksi media. Kesadaran seperti ini akan membuat para jurnalis lebih berhati-hati sekaligus bersikap taktis dan strategis dalam mencari informasi di lapangan.

Memang, kondisi di Indonesia berbeda dengan kondisi di negara-negara tersebut. Banyak hal yang menyebabkan liputan di Indonesia menjadi lebih menantang dan penuh perjuangan.. Misalnya, minimnya dukungan pada kerja jurnalis, belum pahamnya para narasumber dalam memperlakukan jurnalis saat di lapangan serta kenyataan bahwa kondisi perusahaan media tak seluruhnya bisa mendukung penuh kerja para jurnalisnya.

Namun kehati-hatian dalam meliput tetaplah harus dikedepankan. Bagaimanapun, seperti juga para tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam melawan Covid-19, para jurnalis juga menjaga garda terdepan di ujung yang lain.

Agar masyarakat tenang saat harus #dirumahaja, selayaknya informasi yang disampaikan pun yang membuat keingintahuan masyarakat terpenuhi. Tantangan lain kerja jurnalis dan media adalah penyebaran hoaks yang begitu masif. Jika jurnalis melalui medianya dapat dengan jeli menangkap hal-hal yang meresahkan masyarakat kemudian menampilkan informasi resminya di media massa, kemungkinan hoaks dan penyebarannya bisa ditekan.

Sekali lagi, tentu saja, tak bisa berharap terlalu banyak pada media dan jurnalis jika keselamatan dan keamanan kerja jurnalis tak memadai. Namun melihat diskusi dan sharing yang dilakukan oleh para jurnalis di negara lain, setidaknya kita berharap jurnalis kita bisa mengambil hikmah atau pelajaran yang bisa diterapkan dalam keseharian kerjanya dengan segala keterbatasan yang ada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement