Sabtu 11 Apr 2020 18:37 WIB

Tradisi Khitan Sudah Ada Sejak Zaman Nabi Adam

Tradisi khitan memiliki sejarah yang panjang.

Tradisi Khitan Sudah Ada Sejak Zaman Nabi Adam (Ilustrasi). FOTO: Seorang anak usai mengikuti khitanan massal di Masjid Jami Al Falah, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (17/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tradisi Khitan Sudah Ada Sejak Zaman Nabi Adam (Ilustrasi). FOTO: Seorang anak usai mengikuti khitanan massal di Masjid Jami Al Falah, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (17/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Menurut sejumlah riwayat dan literatur, tradisi khitan atau sunat telah ada sejak zaman Nabi Adam AS. Bahkan, bangsa-bangsa terdahulu juga melakukan hal yang sama.

Mengutip keterangan dari Injil Barnabas, Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang berkhitan. Ia melakukannya setelah bertobat kepada Allah dari dosa-dosa yang dilakukannya karena melanggar larangan Allah untuk tidak memakan buah khuldi.

Baca Juga

Ketika syariat ini dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim AS, karena pada masa itu banyak keturunan Nabi Adam AS yang telah melupakan syariat ini. Karena itu, Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menghidupkan kembali tradisi yang menjadi fitrah umat manusia itu.

Dalam sejarah Islam, khitan dilakukan Nabi Ibrahim AS. Hal itu disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA oleh Imam Bukhari, Muslim, Baihaqi, dan Imam Ahmad. Nabi SAW bersabda, "Ibrahim Khalil ar-Rahman berkhitan setelah berumur 80 tahun dengan menggunakan kapak."

Bangsa kuno hingga pra-Nabi

Pada masa Babilonia dan Sumeria Kuno, yakni sekitar tahun 3.500 tahun sebelum Masehi (SM), masyarakat setempat juga sudah melakukan praktik berkhitan. Hal ini diperoleh dari sejumlah prasasti yang berasal dari peradaban bangsa Babilonia dan Sumeria Kuno. Pada prasasti itu, tertulis tentang praktik-praktik berkhitan secara perinci.

Begitu juga pada masa bangsa Mesir Kuno sekitar tahun 2200 SM. Prasasti yang tertulis pada makam Raja Mesir yang bernama Tutankhamun, tertulis praktik berkhitan di kalangan raja-raja (Firaun). Prasasti tersebut menggambarkan bahwa mereka menggunakan balsam untuk menghilangkan rasa sakit, saat sebagian kulit kemaluan laki-laki dipotong. Tujuan mereka melaksanakan khitan ini adalah untuk kesehatan.

Tak hanya Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno, orang-orang Yahudi juga mengenal tradisi berkhitan. Mereka menaruh perhatian besar terhadap praktik berkhitan ini. Dalam kitab Talmud--tafsir atas Zabur, yakni kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud AS--disebutkan, orang yang tidak berkhitan termasuk dalam golongan orang musyrik yang jahat.

Bangsa Arab jahiliyah, yakni sebelum datangnya risalah Islam kepada Nabi Muhammad SAW, juga sudah terbiasa melakukan khitan. Hal ini dilakukan untuk mengikuti tradisi leluhur mereka, yaitu ajaran Ibrahim AS.

Selanjutnya, ajaran berkhitan yang dicontohkan Nabi Ibrahim tersebut diikuti oleh para Nabi dan Rasul sesudahnya. Mereka juga mengajarkan hal itu kepada umatnya masing-masing.

Pada masa Islam, khitan dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap kedua cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, pada saat masing-masing baru berusia tujuh hari. Sementara itu, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Ibnu Abdul Bar, Rasulullah SAW telah berkhitan sejak dilahirkan.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement