Sabtu 11 Apr 2020 10:05 WIB

Dari Marlyn Monroe, Lekra, Hingga Sosok Taufiq Ismail

wanita dan lelakii penyair

Poster Lekra
Foto: Google.com
Poster Lekra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Saya suka laki-laki

yang di dalam dirinya

ada puisi.

Tapi, saya tidak suka

penyair!

              (Marilyn Monroe)

                         *****

Mungkin tak banyak seniman, apalagi yang laki-laki, yang punya usia sampai 80 tahun. Kebanyakan usia mereka tak panjang. Bahkan banyak yang masa hidunya di dunia 'nyaris sekelebat' saja seperti 'Si Binatang Jalang', Chairil Anwar yang hanya mencapai umur 27 tahun. Akibat fakta itu, maka tak heran bila di kalangan seniman diam-diam muncul sebuah takhayul: Kalau ingin namanya abadi, maka seniman hendaknya mati muda saja!

Tapi 'kepercayaan' itu tak berlaku bagi penyair Taufiq Ismail. Dokter hewan sekaligus sarjana peternakan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini ternyata mampu merengkuh usia hingga delapan dasa warsa alias 80 tahun. Bahkan Juni bulan depan usianya mencapai 85 tahun.

Perayaan hari jadinya, Kamis lalu (25/6) lima tahun silam sempat dirayakan secara khidmad di sebuah tempat di pinggang perbukitan di antara dua Gunung Singgalang dan Marapi, yakni di halaman samping 'Rumah Budaya' milik Wakil Ketua MPR Fadli Zon, Nagari Aie Angek, sekitar enam kilometer dari kota Bukittinggi.

Maka pada pada sore menjelang waktu Maghrib tiba, ramailah orang berkumpul merayakan hari jadi Taufiq yang lahir di Bukittinggi 26 Juni 1935. Putra pasangan pejuang kemerdekaan Gafar Ismail dan Siti Nur M Nur  yang lazimnya tak mau hari merayakan hari kelahirannya, kini mau sedikit mengalah dengan membiarkan digelarnya sebuah pesta kecil. Para sanak saudara, putranya Abraham Ismail, serta cucunya mereriung Taufiq dihari kelahirannya.

Pada saat itu hadir semua kerabat dekatnya dan juga kedua 'anak angkatnya', yakni pengamat sosial Universitas Indonesia Imam Prasodjo dan tentu saja Fadli Zon. Para tokoh Minangkabau seperti Gubernur Iwan Prayitno dan sesepuh 'urang awak' Azwar Anas, para bupati/walikota, serta politisi Sumtara Barat juga ikut meramaikannya.

''Tak ada kalimat lain selain rasa syukur yang amat dalam. Tapi pada saat yang sama juga ada perasaan sedih karena dengan usia yang  begitu panjang ternyata masih sedikit amal yang dibuat,'' kata Taufiq ketika mengomentari perayaan ulang tahunnya.

Terkait usia panjangnya Taufiq pun merasa takjub. Apalagi selama setengah tahun ini  dia merasa was-was karena ragu bisa mencapai usia 80 tahun.''Saya berdebar-debar ketika menunggu usia yang bisa mencapai angka dengan tanda bilangan 8 dan 0 ini. 80 tahun usia yang panjang,, lebih panjang 16 tahun dari usia Rasul Muhammad SAW. Tak terbayangkan,'' ujarnya kembali.

Bagi Taufiq yang mengaku sudah bercita-cita menjadi penyiar semenjak umur 6 tahun, memang telah banyak tikungan hidup yang dilalui. Karir puitisnya makin deras semasa SMA, ketika dia menjadi peserta perturakan pelajar Indonesia Amerika pada pertengahan dekade '50-an'.

''Saat itu, pada musim liburan Paskah saya bekerja di sebuah ladang pertanian yang ada di pinggir danau Michigan. Di sana sembari mengaso memanen gandum, saya melamunkan menulis puisi di sebuah rumah yang di kelilingi lahan pertanian luas dan ternak sapi serta ayam yang banyak,'' ungkapnya.

Impian itulah yang kemudian dibawa Taufiq hingga lepas SMA dan sampai masuk ke masa kuliahnya di IPB. ''Saya memang ingin menjadi penyair seperti ayah dan ibu saya. Tapi sungguh saya tak tertarik menjadi dokter hewan. Saya mau kuliah di Bogor karena ingin belajar ilmu peternakan seperti impian saya saat memanen gandum di Michigan tu,'' katanya lagi. 

Dan benar saja, minatnya dalam dunia sastra terus berjalan beriringan secara subur ketika dia kuliah. Taufiq pun mengaku selain sibuk menulis puisi dia pun sibuk mengurus ternak seperti menyuntik hewan, mulai dari ayam, kucing, sapi, hingga harimau.

''Tapi saya malas jadi dokter hewan. Kuliahnya susah dan juga praktiknya menjemukan. Coba saja betapa susahnya menyembuhkan sapi yang sakit paru-paru. Padahal ketika ditanya sapi itu tak bisa menjawab apa yang dirasakannya karena dia tak punya bahasa seperti manusia,'' tukas Taufiq.

Meski sibuk dengan puisi dan kuliah, naluri asli lainnya --yakni berpolitik-- yang itu diturunkan dari ayahandanya selaku tokoh pergerakan nasional, juga ikut muncul di masa itu.  Maka setelah tamat kulah dan kemudian menjadi dosen di IPB, pada 17 Agustus 1963 dia ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang bertujuan menandingi aksi Lekra yang ingin 'mengkirikan' kebudyaan Indonesia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement