Kewajiban Lahiriah dalam Puasa Ramadhan Menurut Al-Ghazali

Red: Ani Nursalikah

Jumat 10 Apr 2020 05:01 WIB

Kewajiban Lahiriah dalam Puasa Ramadhan Menurut Al-Ghazali Foto: Republika/ Wihdan Kewajiban Lahiriah dalam Puasa Ramadhan Menurut Al-Ghazali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT telah memberikan nikmat yang besar kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang menghindarkan mereka dari tipu daya setan ketika dia menjadikan puasa sebagai benteng dan perisai bagi para kekasih-Nya. Dan, sungguh telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Puasa itu setengah kesabaran."

Allah ta'ala pun telah berfirman, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa penghitungan." (QS Az Zumar 39: 10).

Baca Juga

Adapun kewajiban lahiriyah puasa ada enam, dikutip dari Saripati Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Pertama, memantau masuknya awal bulan Ramadhan dan ini dilakukan dengan melihat hilal (bulan sabit). Yang dimaksud dengan melihat di sini adalah mengetahui, dan pengetahuan ini bisa didapat lewat perkataan satu orang yang adil. Penetapan hilal bulan Syawal tidak bisa dilakukan kecuali dengan perkataan dua orang yang adil sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.

Kedua, berniat. Niat harus dilakukan pada setiap malam dengan niat yang spesifik dan pasti, yakni ia berniat menjalankan puasa fardhu Ramadhan karena Allah ta'ala.

Ketiga, menahan diri dari memasukkan sesuatu ke dalam perut dengan sengaja dalam keadaan ingat sedang berpuasa. Adapun "ingat sedang berpuasa" adalah keterjagaan dari melupakan karena kelupaan tidak membatalkan puasa.

Keempat, menahan diri dari jimak (persetubuhan). Sesungguhnya barangsiapa berjimak dalam keadaan lupa, puasanya tidak batal. Jika seseorang berjimak pada malam hari atau bermimpi basah lalu berada di pagi hari masih dalam keadaan junub puasanya juga tidak batal

Kelima, menahan diri dari istimtak, yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja dengan jimak atau tanpa jimak karena itu membatalkan puasa. Mencium istri atau bercengkerama dengannya tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani. Namun, ini dimakruhkan kecuali bagi orang yang sudah tua atau orang kuat mengendalikan birahinya, maka tidak apa-apa orang semacam ini mencium istrinya walaupun meninggalkan hal itu adalah lebih utama.

Keenam, menahan diri dari mengeluarkan muntah atau muntah dengan sengaja. Muntah dengan sengaja membatalkan puasa tetapi jika ia muntah bukan disengaja puasanya tidak batal.

Jika ia menelan dahak dari tenggorokannya atau dadanya, puasanya juga tidak batal sebagai rukhsah karena itu merupakan hal yang terjadi secara umum. Namun, jika ia menelannya setelah dahak itu sampai ke bibirnya, ketika itu, batallah puasanya.