Ahad 12 Apr 2020 01:34 WIB

Sepak Bola di Benua Biru Kembali Diuji

Eropa telah mengenyam pengalaman panjang soal industri sepak bola.

Agung Sasongko
Foto: dok. Republika
Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*)

Hingar bingar dunia sepak bola beristirahat sejenak. Tidak ada kegiatan kecuali sifatnya membantu penanganan virus corona. Sepi, tentu saja. Segala hal berbau sepak bola tertuju pada bagaimana wabah yang ditemukan di Cina ini dapat tertangani. Mulai dari menggalang dana, kampanye tetap di rumah, dan menyapa penggemar dengan menampilkan video laga pilihan. Tapi jangan lupa, krisis keuangan klub. Nah, inilah dampak serius dari konsekuensi penanganan virus corona.

Gejalanya mulai dirasakan klub-klub elit Eropa. Besaran gaji yang demikian wah, tanpa ada pemasukan per pekannya jelas besar pasak dari pada tiang. Peribahasa favorit saya sejak sekolah dasar ini, mulai dialami klub besar macam Barcelona, Manchester United, Juventus, dan lainnya. Mau tidak mau, potong gaji jadi hal yang lumrah terjadi.

Kalau tidak begitu, di akhir musim klub-klub ini bakal terbentur aturan financial fair play yang menuntut klub seimbangkan necara keuangan. Karenanya, wacana untuk menuntaskan kompetisi mengemuka. La Liga misalnya diprediksi bakal melanjutkan kompetisi pada Juli nanti. Namun, jalannya kompetisi bakal sepi dari penonton.

Nasib pemain juga bakal kena dampaknya dengan situasi ini. Di awali dengan pemotongan gaji, dampak lainnya yang mengekor adalah kontrak pemain. UEFA pun menyoroti soal ini. Para pemain yang kontraknya habis 30 Juni mendatang berpotensi hengkang dari klub meski musim belum berakhir. Masalah lainnya, opsi pembelian permanen sepertinya akan menjadi momok bagi klub. Pengaruh bagi pemain mungkin perkara gaji. Bagi klub, harus pintar-pintar menentukan apakah mempermanenkan pemain atau tidak.

Bicara soal bursa transfer. Pada bursa musim panas akan menjadi momentum setiap klub membangun kekuatan. Tapi ternyata kondisi keuangan saat ini, dan waktu yang relatif singkat, membuat setiap klub mesti cermat. Salah beli, rugi investasi. Tepat beli pemain, bersiap nombok gaji. Bisa terbayang, betapa rumitnya situasi sepak bola di Eropa saat ini.

Namun, Eropa telah mengenyam pengalaman panjang soal industri sepak bola. Mulai dari Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan beragam krisis lainnya. Pengalaman ini akan menjadi kunci keberhasilan Eropa mengembalikan kembali roda kompetisi. Belarusia saja, menunjukkan kebangkitannya dengan tetap menggelar kompetisi liganya. Semoga saja tidak ada masalah dengan semangat itu.

Presiden FIFA, Gianni Infantino yakin dunia dan sepakbola akan kembali normal dalam waktu dekat jika semua orang mematuhi aturan otoritas kesehatan dalam memerangi virus corona. Pria 50 tahun itu mencoba memberikan harapan kepada semua orang bahwa  sepakbola akan kembali pada waktunya.

Infantino merasakan betul situasi di Italia. Menurut dia, setiap orang harus menghadirkan kebahagiaan kepada mereka yang menderita dengan cara mengikuti protokol kesehatan. "Waktu untuk sepakbola akan kembali dan kapan kembali, setelah kami pulih dari mimpi buruk bersama,” katanya.

Saya kira, para pesepakbola, pelatih, klub, dan Presiden FIFA sekalipun sepakat, kontribusi saat ini yang bisa dilakukan selama masa krisis  adalah tetap berada di rumah. Dari rumah, optimisme dibangun dengan membayangkan kita akan kembali menyaksikan laga sepak bola lagi. Tak lupa mendoakan bagi saudara-saudara kita yang tengah berjuang untuk pulih, amin yra.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement