Senin 06 Apr 2020 21:18 WIB

Layaknya Gaza, Komunitas Yahudi Orthodoks Kini di 'Lockdown'

Mayoritas warga Bnei Brak tidak menerima perlakukan otoritas Israel

Red: A.Syalaby
Situasi di Bnei Brak, Israel, setelah lockdown
Foto: BBC
Situasi di Bnei Brak, Israel, setelah lockdown

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai Kota yang menjadi Pusat Kebudayaan Yahudi, Bnei Brak tak pernah sesepi ini. Kota tempat warga Yahudi Ultra Orthodoks tinggal ini harus menerima kenyataan jika mereka menghadapi karantina total akibat wabah virus Corona yang terus meningkat. Di Israel, Bnei Brak bahkan menjadi salah satu pusat episentrum dari Virus Corona. 

BBC melaporkan, seorang pejabat kesehatan Israel menduga ada sekitar 40 persen dari warga di kota berpopulasi 200 ribu jiwa ini terinfeksi Covid-19. Pada Senin (6/4) ini, Israel mencatat  total jumlah kasus terinfeksi Corona berkisar 8.611 dengan 55 kematian. Bnei Brak mencatat 1.222 kasus positif.

Kasus infeksi Covid-19 diantara komunitas Yahudi Ultra-Orthodoks telah meningkat dengan cepat. Komunitas ini pun harus menerima stigmatisasi dari publik. “Kami (seolah) menjadi pengidap lepra dan kriminal,”ujar warga Bnei Brak, David Rubinstein, seperti dilaporkan The Jerussalem Post, Senin (6/4). 

Penyiar Televisi Rinah Matzliah menjelaskan, mayoritas warga Bnei Brak tidak menerima perlakukan otoritas Israel.  Pekerja dari kawasan Bnei Barak yang merupakan pegawai dari perusahaan farmasi mengambil cuti. Sementara, karyawan lain bekerja sebagaimana biasa. Usai menerima kritik, perusahaan memulihkan kembali cuti para karyawan, tetapi mewajibkan mereka untuk bekerja terpisah dari staf lainnya. 

Pemerintah sudah menyampaikan pesan dan instruksi mengenai sosial distancing kepada para pemimpin dan masyarakat Ortodhoks. Meski demikian, komunitas itu kini protes dengan kebijakan Menteri Kesehatan. 

“Sepertinya Virus Corona datang sepenuhnya dari Bnei Brak, padahal ada fakta yang menyampaikan jika mereka yang mengambil penerbangan dan datang dari Italia,”ujar Rubinstein, warga Bnei Barak lainnya yang bekerja di industri pariwisata. 

Miri K, warga Bnei Barak lainnya merasakan hal serupa. “Tidak menyenangkan, tuduhan kepada masyarakat Ultra Orthodoks, khususnya saat orang meminta lockdown,”jelas dia. 

"Semua mendengarkan perintah itu. Kami cepat menyetop untuk pergi ke Sinagog saat sebelum ada pelarangan. Tidak ada seorang pun anggota keluarga ku sakit. Sejauh yang saya tahu, tidak ada juga tetanggaku yang sakit,"ujar Miri.

Dilansir dari Times of Israel, Menteri Kesehatan Israel, Yaakov Litzman sebelumnya sudah meminta kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melakukan karantina di Bnei Brak.  Permintaan tersebut datang setelah adanya laporan ratusan orang melakukan upacara tengah malam di tengah upaya polisi menerapkan social distance. 

Situasi di Bnei Barak tak jauh berbeda dari Gaza. Sejak lama, Israel telah memblokade sekitar dua juta warga Gaza. Lockdown identik dengan penutupan suatu wilayah. Namun, warga Gaza telah menjalaninya selama lebih dari satu dekade.

"Apakah Anda bosan dengan karantina Anda, penutupan perbatasan Anda, bandara Anda, perdagangan Anda? Kami di Gaza telah menjalani ini selama 14 tahun. Oh dunia, selamat datang di dunia nyata kami sehari-hari," kata salah seorang pengguna media sosial di Gaza.

photo
Seniman Palestina Dorgham Qeraqea, (kiri) dan Samah Saed menghiasi masker dengan gambarkartun, untuk mendorong orang agar memakainya sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus, di sebuah lokakarya di lingkungan Shijaiyah Gaza, Kamis, 2 April 2020. - (AP / Adel Hana)

Youssef Sharaf adalah salah satu warga Gaza yang masih ingat bagaimana kehidupan berlangsung sebelum cengkeraman blokade Israel. Sebagai pengusaha, dulu dia biasa mengekspor pemanas listrik ke Israel dan Tepi Barat.

Pabrik logamnya bergeliat. Namun, kini, tempat tersebut telah ditinggalkan hiruk pikuk aktivitas. Tak ada kegiatan, hanya sepi yang kosong. "Dulu, saya punya 70 orang yang bekerja di sini (pabrik). Hari ini, saya hanya punya satu," kata Sharaf saat diwawancara Reuters.

Pabriknya memang tak beroperasi akibat ulah manusia. Namun, kini, dia berempati kepada mereka yang menghadapi penutupan akibat wabah penyakit. "Ini sulit. Semoga Allah menyertai mereka," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement