Selasa 07 Apr 2020 02:51 WIB

Ini Pekerjaan Rumah Ketua Mahkamah Agung Terpilih

Pekerjaan rumah pertama yakni masih adanya pungutan liar di pengadilan

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Mahkamah Agung
Foto: Republika/Agung Fatma
Mahkamah Agung

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial, Syarifudin terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung menggantikan Hatta Ali yang memasuki masa pensiun per Selasa (7/4). Hakim Agung Syarifudin memperoleh 32 suara dari 47 pemilik hak suara.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) meminta agar Ketua MA terpilih membereskan pekerjaan rumah yang ditinggalkan Hatta Ali, agar masyarakat Indonesia bisa menikmati layanan dari pengadilan yang independen dan kompeten.

Perwakilan dari KPP Julius Ibrani mengungkapkan, pekerjaan rumah pertama yang harus dibereskan yakni masih adanya pungutan liar di pengadilan. Diketahui pada tahun 2019, tim saber pungli Badan Pengawas MA berhasil melakukan tangkap tangan terhadap Panitera PN Jepara dan Panitera Muda Perdata PN Wonosobo. Belum lagi berbagai pungutan liar yang terjadi di pengadilan.

“Pungli itu kerap dialami oleh para pencari keadilan dan penasihat hukumnya,” kata Direktur Bantuan Hukum YLBHI tersebut dalam keterangannya, Senin (6/4).

 

Kedua, lanjut Julius, masih ada pejabat pengadilan yang tertangkap tangan menerima suap. Selama masa kepemimpinan Hatta Ali, terutama pada masa kepemimpinan jilid kedua, terdapat beberapa tangkap tangan terhadap: Hakim PN Balikpapan (2019), Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan (2018), Hakim PN Tangerang (2018), Panitera Pengganti PN Tangerang (2018), Ketua PT Manado (2017), Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Bengkulu (2017), Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor pada PN Bengkulu (2017), dan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan (2017).

Ketiga, belum terpenuhinya standar layanan keadilan yang sederhana, misalnya penyampaian salinan putusan yang masih terus berlarut-larut dan melampaui waktu 14 hari seperti yang diatur undang-undang sehingga sering menghalangi pihak berperkara untuk mengajukan upaya hukum. Selain itu, pelaksanaan sidang yang sering kali molor berjam-jam, tidak sesuai dengan waktu yang disebutkan dalam panggilan sidang.

“Keempat, kualitas pertimbangan putusan Hakim/Hakim Agung yang masih jauh dari memadai dan jamaknya disparitas putusan yang terjadi,” kata Julius.

Kelima, lanjut dia, tidak terpenuhinya hak-hak para pihak dalam pemeriksaan dan penanganan perkara, terutama dalam perkara pidana. Misalnya hak atas bantuan hukum, hak atas perlindungan dari penyiksaan dalam pemeriksaan untuk proses penyidikan, hak untuk mendapatkan penerjemah, hak atas layanan kesehatan, dan lainnya.

“Bahkan, sebagian besar masalah tersebut bersifat sangat mendasar dan sering terjadi dalam penyelenggaraan proses peradilan di pengadilan. Sehingga cukup mengherankan masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dalam delapan tahun periode kepemimpinan Hatta Ali,” ujar Julius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement