Senin 06 Apr 2020 11:40 WIB

Terkubur Pandemi

Saya akan menjagamu sampai jiwa ini tercerabut dari jasad

Terkubur Pademi.
Foto:

"Maaf sudah sampai mba," suara sang driver mengakhiri lamunanku. Kini aku kembali ke dunia 'nyata'.

Kurapihkan sedikit kerudung dan mengancingkan jaket bagian bawah yang lepas."Iya, baik terima kasih pak."

Aku bergegas. Kubuka pintu mobil, dan menuju ke ruang ICU. Sudah lama aku tak ke rumah sakit ini. Terakhir pada 2010 lalu saat menjenguk saudara yang kebetulan sedang sakit demam berdarah. Banyak sekali yang berubah terutama di fisik bangunan.

"Boleh tahu di mana ruang gawat darurat, suster?" tanyaku kepada seorang perawat jaga yang berada di ruang pendaftaran.

Sang suster pun dengan ramah menjawab, "Mba bisa lewati lorong itu, lalu belok ke kanan, di sana letaknya ICU."

"Terima kasih Sus."

Aku berjalan melewati sebuah lorong. Lampu neon berpendar, tanda hari masih gelap. Hanya beberapa orang yang terlihat. Mereka sebagian besar adalah penunggu pasien.

Dari jauh kulihat tulisan "ICU". Aku pun mempercepat langkah kaki ini.  Di sana tampak Bulik Jum, Ibu Siti yang tak lain ibunya Randi, dan Aris adiknya Randi.

Ketiganya duduk di kursi depan ruangan unit gawat darurat dengan wajah penuh kecemasan. Saya datang mendekat, dan Ibu Siti langsung berdiri memelukku penuh erat. "Randi-Randi, nak ...," kata Bu Siti yang tak kuasa menahan tangis.

"Randi semalam demam tinggi, dan jam 03.00 sesak nafas. Awalnya kami kira sesak nafas biasa, tapi ternyata bukan."

Ibu Siti sesegukan. Aku pun tak sanggup menahan kesedihan. Air mata jatuh tanpa aba-aba. Kucoba menyeka, tapi tetap tak bisa tertahan

"Jadi sekarang bagaimana kabarnya Randi, Bu," tanyaku memberanikan diri.

Bulik Jum menjawab, "Nuwun sewu Dik, Randi saat ini sudah tak sadarkan diri. Dokter bilang kondisinya kurang baik, dan ia dibantu oleh ventilator."

Bulik menuturkan, tim dokter yang menangani Randi juga tak sembarangan. Dokter dan perawat mengenakan alat pelindung diri berwarna putih seperti pakaian astronot. Dokter bilang Randi sudah masuk ke ruang isolasi. Dia sudah masuk dalam daftar Pasien Dalam Pengawasan (PDP) Corona.

Aku pun tertegun. Pikiranku semakin kacau. Dunia seperti mau kiamat. Bagaimana mungkin seorang Randi bisa tertular virus yang belum ada obatnya tersebut. Apakah ia benar-benar positif? Apakah ia bisa selamat?

Hal yang membuat Rima semakin kaget adalah usia Randi yang boleh dibilang masih muda. Pada Desember mendatang Randi baru berusia 30 tahun. Randi juga tidak mempunyai rekam penyakit bawaan.

Seorang dokter jaga mengenakan APD lengkap mendekati kami.

"Ibu keluarga Randi," tanya dokter tersebut. "Iya Dok," jawab bu Siti sambil kembali menanyakan kondisi anaknya.

"Begini Bu, pasien belum sadar, kondisinya masih kami pantau. Kita sama-sama berdoa semoga ia bisa melewati semua ini."

Sang dokter lantas mengharapkan pihak keluarga untuk pulang dan mengarantina diri. Pihak rumah sakit khawatir keluarga pasien terpapar oleh virus mematikan tersebut.

Kami awalnya menolak. Namun dokter dan rumah sakit mendesak supaya kami segera pulang karena khawatir membahayakan yang lain.

Di sini, aku kembali tak kuasa menahan tangis. Mengapa hal ini terjadi kepada Randi? Mengapa hal ini terjadi kepada tunanganku? Mengapa Randi harus ditinggalkan sendiri saat ia harus berjuang melawan penyakit ini?

Pukul 04.45 pagi. Azan Subuh menggema dari sebuah Masjid di lingkungan rumah sakit. Ingin rasanya aku dapat memenuhi panggilan itu. Ingin aku bersujud dan memohon petunjuk-Nya. Ingin aku menangis sekencang-kencangnya.

"Ya Allah, cobaan apa yang berikan kepada kami."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement