Ahad 05 Apr 2020 15:58 WIB

Polda Tangkap Warga Berkerumun, LBH: Tak Berdasar Hukum

Tidak ada kebijakan yang berubah dari pemerintah sebatas imbauan atau maklumat.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Fakhruddin
Warga memutar kendaraannya saat akan melintas di depan spanduk imbauan penutupan akses jalan guna mencegah penyebaran COVID-19 di kawasan Tanjung Barat, Jakarta, Ahad (5/4/2020). Kemenkes resmi merilis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 yang diantaranya meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Warga memutar kendaraannya saat akan melintas di depan spanduk imbauan penutupan akses jalan guna mencegah penyebaran COVID-19 di kawasan Tanjung Barat, Jakarta, Ahad (5/4/2020). Kemenkes resmi merilis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 yang diantaranya meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritik tindakan Polda Metro Jaya yang melakukan penangkapan terhadap 18 warga yang diduga tak mematuhi imbauan kepolisian. Penangkapan tersebut dinilai sebagai tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasar hukum karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB) belum berlaku.

"Penangkapan tersebut adalah tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasar hukum, mengingat penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dengan PSBB sampai hari ini belum berlaku," ujar Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, melalui keterangan tertulisnya, Ahad (5/4).

Baca Juga

Karena itu, kata dia, kepolisian belum memiliki kewenangan untuk menerapkan sanksi pidana dengan merujuk ketentuan Pasal 93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018. Pasal tersebut merupakan pasal yang diduga dilanggar oleh 18 warga tersebut selain Pasal 218 KUHP.

"Sedangkan, penerapan Pasal 218 KUHP harus merujuk kepada orang yang berkerumun untuk tujuan mengacau, jadi bukan orang berkerumun yang tentram dan damai," terangnya.

 

Ia menjelaskan, sejauh ini tidak ada kebijakan yang berubah dari pemerintah untuk menangani Covid-19 selain sebatas imbauan atau maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan sosial atau physical distancing. Menurut dia, imbauan atau maklumat tidak memiliki kekuatan hukum yang bisa menjadi dasar sanksi pemidanaan.

"Diterbitkannya Keppres (Kedaruratan Kesehatan) atau PP (PSBB) tersebut oleh Pemerintah tidak otomatis menjadikan kebijakan PSBB yang diumumkan Presiden Jokowi berlaku," jelas dia.

Arif mengatakan, sesuai dengan PP Nomor 21 Tahun 2020 tersebut, harus ada penetapan Menteri Kesehatan (Menkes) terkait PSBB terlebih dahulu untuk menjadi dasar hukum dan pengesahan kebijakan PSBB sebagai bentuk kekarantinaan kesehatan. Kebijakan tersebut pun harus memenuhi persyaratan tertentu dan berangkat dari usulan kepala daerah atau Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Sementara itu, Menkes baru menerbitkan pedoman penetapan PSBB melalui Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Jumat (3/4) lalu. Dengan begitu, sudah jelas tindakan kepolisian yang melakukan tindakan hukum pidana terhadap masyarakat adalah tindakan yang tidak berdasar.

"Terhadap masyarakat yang dirugikan akibat tindakan sewenang wenang kepolisian sebagaimana hal di atas berhak menempuh upaya hukum," ungkap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement