Sabtu 04 Apr 2020 06:37 WIB

Aku Bangga Jadi Rakyat Indonesia

Mengapa kita harus bangga jadi rakyat Indonesia di tengah wabah corona ini?

Asma Nadia menulis Resonansi Republika tentang kebanggaan menjadi rakyat Indonesia di tengah wabah corona
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia menulis Resonansi Republika tentang kebanggaan menjadi rakyat Indonesia di tengah wabah corona

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia

Aku bangga terhadap rakyat Indonesia. Sejak wabah merebak, mereka terus bergerak, aktif, dan berinisiatif mencari informasi, lalu berikhtiar untuk menjaga diri dan keluarga dari terpapar virus corona, termasuk menjadi perpanjangan tangan info-info terkait corona dan terus mengedukasi.

Tidak hanya di kota, bahkan hingga desa dan kampung-kampung, segenap lapisan rakyat melakukan langkah antisipasi, memastikan tidak sembarangan orang keluar-masuk. Seorang istri meminta suaminya untuk menyendiri dulu selama dua pekan sebelum masuk ke rumah di kampung setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta. Bukan tidak peduli, melainkan ini wujud kesadaran yang layak diapresiasi.

Bahkan, masyarakat yang jauh dari gegap gempita informasi sebagaimana mereka yang di kota sudah mengerti arti menjaga jarak secara fisik untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Mereka sadar bahwa setiap orang Indonesia mungkin saja telah menjadi salah satu yang membawa virus dalam dirinya. Sekalipun tidak punya alat deteksi, mereka mengambil inisiatif untuk lebih dulu menentukan langkah-langkah aman, swakarantina.

Saya pribadi optimistis wabah akan berakhir lebih cepat dan Indonesia tercinta pulih segera jika semua pihak menerapkan hal yang sama. Sayangnya, memang belum.

Aku bangga menjadi rakyat Indonesia. Di beberapa kompleks dan perkantoran penghuninya secara mandiri menyiapkan bilik disinfektan. Menyadari beberapa cairan yang disemprotkan bukan berasal dari komposisi ideal, mereka mencari bahan alternatif yang lebih tepat dan aman.

Bagaimanapun kreativitas ini menujukkan kesungguhan rakyat yang tak menunggu subsidi, mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, ketika tidak ada tempat bersandar.

Aku salut dengan generasi muda Indonesia. Anak-anak muda yang tidak mudah dibuai oleh informasi menyimpang. Benar, beberapa hoaks sudah tersebar, bahkan tidak sedikit disampaikan oleh institusi resmi dan figur yang seharusnya kompeten. Syukurlah, generasi kita pandai memilih mana berita yang harus dipercaya, mana yang harus diabaikan, dan bertindak tepat tanpa terpengaruh propaganda.

Sungguh, aku takjub dengan bangsa Indonesia. Secara ekonomi mungkin sebagian besar anak bangsa ini serba kekurangan, terlebih pada masa krisis wabah yang mengikis sumber penghasilan. Akan tetapi, ketimpangan ini dengan cepat direspons. Begitu banyak rakyat menunjukkan kepedulian.

Berbagai lembaga kemanusiaan menggagas kantung-kantung bantuan. Teman-teman selebriti dan tokoh publik, termasuk komunitas artis hijrah, Kajian Musawarah, yang dalam waktu singkat mengumpulkan dan menyalurkan lebih dari 200 juta rupiah bagi kebutuhan APD nakes dan mereka yang terdampak ekonomi. Uniknya, berbagai LSM maupun forum masyarakat turut bergerak.

Berbagai video viral menunjukkan di ruas-ruas jalan tidak sedikit masyarakat membagikan makanan maupun kebutuhan pokok. Tidak seluruhnya dari kalangan yang berkelimpahan, tetapi semua ingin berbagi. Semangat sedekah yang luar biasa semoga terus berdenyut memasuki bulan Ramadhan nanti.

Seorang sopir ojol bercerita, setiap hari selalu saja mendapatkan makanan gratis di jalan; entah ke barat, timur, utara, atau selatan Jakarta, “Alhamdulillah, Pak, ada saja yang membagikan makanan!” ujarnya dengan senyum yang saya yakin terkembang di balik masker yang dikenakan.

Sumpah, terkait masker ini, saya benar-benar dibuat terkesima dengan kreativitas intelektual Indonesia dan respons cepat mereka. Menyikapi sulitnya menemukan masker di pasaran yang harganya melonjak berkali-kali lipat, ramai di media sosial yang membuat gerakan, menantang anak bangsa menyediakan 100 juta masker kain, dengan saku di bagian dalam yang bisa diselipkan lapisan tisu hingga lebih aman.

Alhamdulillah, masih sangat bangga menjadi rakyat di Indonesia. Berbagai pihak tidak henti bergerak. Para ilmuwan dan teknisi terus mengembangkan riset untuk membuat ventilator memadai dengan harga cepat dan murah serta portabel.

Gubernur Jakarta bahkan menyiapkan laboratorium yang bisa mendeteksi virus melalui tes dengan kecepatan 1.000 orang per hari. Kabarnya, dibutuhkan cuma satu pekan untuk menyiapkan hal ini.

Aku juga angkat topi tinggi-tinggi bagi para pengusaha Indonesia yang peduli. Naluri bisnis adalah mencari keuntungan. Akan tetapi, pada masa wabah, tidak sedikit pengusaha produk lokal yang mendonasikan dana dalam jumlah fantastis.

Sebagian mengalihfungsikan penginapan dan hotel serta gedung yang mereka miliki untuk dijadikan rumah sakit darurat. Para influencer bahu-membahu mulai dari membuat konten menghibur dan bermanfaat selama di rumah saja, juga menggunakan media sosial mereka untuk menyuarakan usaha kecil sesama rakyat yang sepi sejak virus corona merajalela.

Hal lain yang membuat bangga adalah upaya bersiap para pemerintah daerah yang berani mengambil tindakan tegas, tindakan antisipatif yang aktif. Mereka sadar ada risiko ekonomi jika melakukan pembatasan wilayah. Namun, di sisi lain, mereka pun tahu jika pembatasan wilayah tidak dilakukan; selain nyawa taruhannya, risiko ekonomi lebih besar dan akan sangat berlarut-larut menanti kita. Seandainya semua pihak mampu memahami urgensi hal ini.

Kita perlu bergerak dalam ritme yang sama. Solidaritas untuk menjaga jarak, mengenakan masker, bahkan meski cuma belanja di tukang sayur kompleks perumahan. Kekompakan untuk di rumah saja dan rajin cuci tangan. Ini hanya berhasil sempurna jika seluruh rakyat terlibat.

Jika tidak dijalankan secara menyeluruh, bisa jadi pandemi akhirnya berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain.

Kebanggaanku menjadi rakyat Indonesia yang terakhir serta terpenting. Aku bangga, salut, terkesima, dan takjub pada komitmen dan perjuangan para tenaga medis yang bekerja siang malam tanpa lelah.

Tanpa perlengkapan memadai, mereka seolah dikirim ke medan tempur tanpa dipersenjatai memadaim, tetapi mereka tetap menjalankan tugas. Tanpa APD lengkap tentu mereka tahu seperti berperang dengan perlindungan nihil, tetap mereka tak surut dan terus berusaha melayani sebaik yang mereka bisa.

Tidak sedikit dari mereka meninggalkan kemewahan dan keluarga di rumah. Tidak sedikit yang akhirnya meninggalkan keluarga untuk selamanya. Mereka adalah pahlawan sesungguhnya. Pahlawan yang jejaknya akan terus terukir di hati rakyat. Pada mereka yang berada di garda depan, tumpuan harapan bersandar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement