Kamis 02 Apr 2020 13:57 WIB

NASA akan Luncurkan Satelit Selidiki Letusan di Matahari

Letusan di matahari menyebabkan gangguan gelombang radio di atmosfer bumi.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Teleskop surya terbaru, Daniel K. Inouye yang berada di dekat puncak Gunung Haleaka di Maui, Hawaii, Amerika Serikat (AS) merilis gambar pertama matahari.
Foto: nsf
Teleskop surya terbaru, Daniel K. Inouye yang berada di dekat puncak Gunung Haleaka di Maui, Hawaii, Amerika Serikat (AS) merilis gambar pertama matahari.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Badan Antariksa Amerika Serikat (AS) atau NASA melakukan misi untuk mengirimkan enam CubeSats (satelit kecil) ke orbit lebih dari 20.000 mil dari Bumi. Satelit yang memiliki ukuran seperti oven pemanggang roti itu akan mempelajari ejeksi partikel besar dari matahari.

Misi yang dinamakan sebagai Sun Space Interferometer Space Experiment atau SunRISE akan diluncurkan oleh NASA selambat-lambatnya pada 1 Juli 2023. SunRISE akan terdiri dari enam CubeSats yang terbang sejauh 10 km dari satu sama lain.

Baca Juga

Satelit kecil tersebut bersama-sama akan bertindak sebagai teleskop radio raksasa, mendeteksi emisi frekuensi rendah dari aktivitas matahari, dan mengaitkan pengukuran melalui Deep Space Network (Jaringan Luar Angkasa NASA). Data yang dikumpulkan oleh  SunRISE CubeSats diharapkan akan memberi tahu para ilmuwan tentang sumber ejeksi massa korona (CME), yang meluncurkan gelembung besar gas dan medan magnet dari matahari.

Konstelasi satelit kecil juga akan memungkinkan para peneliti untuk melokalisasi letusan. Ejeksi massa koral  mempercepat partikel-partikel energik di seluruh tata surya. Partikel-partikel itu dapat menyebabkan badai geomagnetik ketika mereka mencapai Bumi. Badai semacam itu dapat berdampak pada komunikasi radio, navigasi satelit, jaringan listrik dan satelit serta operasi atau kegiatan luar angkasa yang dilakukan manusia.

"Kami sangat senang menambahkan misi baru ke armada pesawat ruang angkasa kami yang membantu kami lebih memahami matahari, serta bagaimana bintang kami memengaruhi lingkungan luar angkasa antar planet," kata Nicky Fox, direktur divisi heliofisika NASA, seperti dilansir Spaceflight Now, Kamis (2/4).

Fox mengatakan semakin diketahuinya tentang bagaimana matahari mengeluarkan letusan, dengan peristiwa cuaca luar angkasa, maka efek yang ditimbulkan pada pesawat ruang angkasa dan astronaut semakin dapat dikurangi. Para ilmuwan berharap dapat lebih memahami proses yang terjadi di matahari saat mempercepat partikel energetik selama ejeksi massa korona.

Enam SunRISE CubeSats akan mendeteksi emisi radio secara bersamaan dari lokasi yang sedikit berbeda di luar angkasa. Sinyal radio yang menjadi fokus misi ini akan diblokir oleh atmosfer Bumi. Karena itu, para ilmuwan harus mengirim satelit untuk mempelajarinya.

Misi SunRISE juga akan membuat peta 3D untuk menunjukkan dengan tepat lokasi letusan matahari yang kuat, sambil melacak bagaimana partikel awan dan garis medan magnet berevolusi saat mereka meninggalkan matahari. Menurut NASA, data akan membantu menentukan apa yang memulai dan mempercepat pancaran radiasi raksasa.

Investigator utama untuk SunRISE adalah Justin Kasper dari  University of Michigan di Ann Arbor. Misi tersebut akan dikelola di Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California.

NASA mengatakan misi ini akan menelan biaya 62,6 juta dolar AS untuk merancang, membangun, dan meluncurkan. Setiap nanosatellites (satelit kecil) SunRISE adalah CubeSat enam unit, atau 6U. Ini akan diluncurkan bersama pada satelit geostasioner yang dibangun oleh Maxar Technologies yang dilengkapi dengan Sistem Pengiriman Orbital Payload, atau PODS, akomodasi rideshare.

Satelit Maxar yang dibangun akan menyebarkan satelit SunRISE ke orbit tepat di atas ketinggian geostasioner  yang disebut orbit GEO graveyard, yang terletak lebih dari 22.000 mil di atas Bumi. Kasper mengatakan Maxar dan NASA belum mengidentifikasi satelit yang akan dinaiki SunRISE ke orbit dan memakan waktu satu tahun.

Satelit SunRISE akan dibangun di Space Dynamics Laboratory di Utah State Universit, dan detektor radio akan disediakan oleh JPL. Misi ini terpilih pada 2017 untuk studi konsep misi 11 bulan sebagai salah satu dari dua misi peluang di bawah program Penjelajah NASA.

Pada Februari 2019, NASA menyetujui studi formulasi yang diperpanjang untuk satu tahun tambahan agar teknologi yang dimiliki dapat lebih matang, demikian dengan rencana untuk misi SunRISE. Misi lain yang dipilih untuk dipelajari pada 2017 adalah misi Atmospheric Waves Experiment, atau AWE.

NASA pada tahun lalu memutuskan untuk melanjutkan pengembangan misi AWE senilai 42 juta dolar AS, yang akan memasang instrumen di luar Stasiun Luar Angkasa Internasional untuk menyelidiki hubungan antara pola cuaca di atmosfer Bumi dan cuaca luar angkasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement