Rabu 01 Apr 2020 22:40 WIB

Usut Tuntas Penyeludupan 27 Kontainer Tekstil Ilegal

Penyelundupan tekstil premium illegal tersebut dilakukan secara terstruktur.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) didampingi Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi (kedua kiri) memberikan keterangan kepada wartawan saat rilis Pembongkaran penyelundupan tekstil di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta.
Foto: Antara/Reno Esnir
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) didampingi Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi (kedua kiri) memberikan keterangan kepada wartawan saat rilis Pembongkaran penyelundupan tekstil di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Arteria Dahlan mendesak, Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membongkar kasus dugaan penyelundupan 27 kontainer tekstil premium illegal. Sebenarnya, kasus tersebut telah disidik dan dilimpahkan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan ke Kejagung.

"Saya mendesak Jaksa Agung Burhanuddin untuk memberikan atensi, memperlihatkan keseriusan dan mengusut tuntas kasus penyelundupan 27 kontainer tekstil premium illegal itu," desak politikus PDI Perjuangan dalam pesan singkatnya, Rabu (1/4).

Arteria juga menyebut, jika penyelundupan tekstil premium illegal tersebut dilakukan secara terstruktur. Bahkan melibatkan para pejabat publik yang berkompeten dan memiliki kewenangan pemeriksaan bea masuk, sistematis. Tentunya dengan menggunakan perencanaan yang matang dan massif dengan memuat kuantitas yang besar dan dilakukan secara berulang-ulang.

"Dengan modus memanipulasi dokumen impor, perbuatan mana dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) perusahaan, yakni PT Peter Garmindo Prima dan PT Flemings Indo Batam," ungkap Arteria.

Arteria menjelaskan, kedua perusahaan tersebut patut diduga telah memanipulasi dokumen sertifikat asal barang dalam dokumen bill of lading. Sebanyak 27 kontainer tekstil premium illegal tersebut seolah-olah berasal dari Shanti Park, Mira Road, India, dan dalam dokumen pengiriman kapal pengangkut seolah-olah berasal dari pelabuhan muat di Nhava Sheva, India.

Namun faktanya, kata Arteria, berasal dari China, dan diangkut melalui pelabuhan muat di Hong Kong, China. "Perbuatan ini dimaksudkan untuk memanfaatkan aturan/kebijakan Bea Safeguard yang diberikan kepada India, sebagai salah satu negara yang mendapatkan fasilitas tersebut," kata Arteria.

Tidak hanya itu, menurut Arteria, kedua perusahaan tersebut juga telah melakukan sejumlah menipulasi dokumen manifest pengiriman terkait dengan penyebutan jenis kain dalam kontainer. Disebutkan berisi kain poliester, namun pada faktanya berisikan kain brokat, sutera, aatin, dan gorden yang harganya jauh lebih mahal dari kain poliester.

Kata Arteria, perbuatan tersebut untuk menekan biaya bea masuk, tarif bea safeguard, PPN dan PPh serendah mungkin.  "Memanipulasi dokumen manifest pengiriman, terkait dengan volume/kuantitas/jumlah kain dalam kontainer. Kuantitas bisa dinyatakan lebih rendah 50 persen dari keadaan sebenarnya,  katanya. 

Kemudian, akibat penyelundupan tersebut negara dirugikan hingga triliunan rupiah. Oleh karena itu, Jaksa Agung harus melakukan penegakan hukum yang adil, berkepastian dan obyektif serta mampu mengungkap siapa aktor intelektual dan beneficial owner dalam kasus tersebut.

"Kasus ini hanya salah satu dari banyaknya peristiwa penyelundupan yang dilakukan oleh mafia textile yang berhasil diungkap yang ditenggarai merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah," ucap Arteria. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement