Rabu 01 Apr 2020 18:12 WIB

Tambah Anggaran Penanganan Covid-19, Kemenkeu Hemat Belanja

Penghematan difokuskan untuk penambahan belanja penanganan Covid-19

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Fuji Pratiwi
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan kepada media tentang Stimulus Kedua Penanganan Dampak Covid-19 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, medio Maret 2020.  Guna menambah anggaran penanganan Covid-19, Kementerian Keuangan menghemat belanja pemerintah.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan kepada media tentang Stimulus Kedua Penanganan Dampak Covid-19 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, medio Maret 2020. Guna menambah anggaran penanganan Covid-19, Kementerian Keuangan menghemat belanja pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah berencana menambah anggaran Rp 405,1 triliun untuk menanggulangi pandemi virus corona (Covid-19). Tambahan ini didapatkan dari berbagai sumber, termasuk melalui penataan kembali fokus (refocusing) dan realokasi belanja pemerintah pusat untuk penanganan Covid-19 yang berdampak pada penghematan belanja.  

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, total belanja negara yang bisa dihemat mencapai sekitar Rp 190 triliun. Sebanyak Rp 95,7 triliun di antaranya berasal dari belanja kementerian/ lembaga (K/L) dan sisa sebesar Rp 94,2 triliun dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Selain itu, ada realokasi cadangan Rp 54,6 triliun.

Baca Juga

Penghematan difokuskan untuk penambahan belanja penanganan Covid-19. Tercatat, dari total tambahan Rp 405,1 triliun, sebesar Rp 255,1 triliun digunakan untuk menambah pos belanja pemerintah pusat untuk mencegah maupun menangani pandemi. Sebanyak Rp 150 triliun lainnya digunakan untuk dukungan pembiayaan anggaran.

"Dengan tambahan belanja tersebut, defisit anggaran menjadi hal yang tidak bisa ditampik," kata Sri dalam telekonferensi dengan media, Rabu (1/4).

Terlebih, pendapatan negara melalui perpajakan diprediksi turun hingga 10 persen sepanjang tahun. Kemenkeu memperkirakan, defisit mencapai 5,07 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Proyeksi defisit itu lebih tinggi dibandingkan proyeksi pemerintah dalam Undang-Undang APBN 2020 yang menargetkan defisit 1,76 persen terhadap PDB. Besaran 5,07 persen juga sudah melampaui batas maksimal defisit tiga persen yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Untuk memfasilitasi defisit yang lebih besar dari ketentuan sebelumnya, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/ atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu 1/2020 diteken Presiden Joko Widodo pada Selasa (31/3) dan berlaku di hari yang sama. Dalam beleid hukum itu, pemerintah menetapkan relaksasi defisit anggaran di atas tiga persen selama tiga tahun yakni 2020 hingga 2022. Pada 2023, ketika tekanan ekonomi diharapkan sudah mereda, defisit kembali ke batas semula, tiga persen.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement