Kamis 02 Apr 2020 04:36 WIB

Cerita WNI Terjebak Lockdown di Eropa

WNI di Eropa sempat menyaksikan stok sabun batang dan tisu toilet habis di pasaran

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Penyanyi berkebangsaan Swiss Amandine (Rapin) melakukan konser singkat di balkonnya saat diberlakukannya keadaan darurat wabah penyakit corona di Lausanne, Swiss, Sabtu (28/3). Negara-negara di seluruh dunia mengambil langkah-langkah pencegahan untuk membendung penyebaran virus corona
Foto: EPA-EFE/LAURENT GILLIERON
Penyanyi berkebangsaan Swiss Amandine (Rapin) melakukan konser singkat di balkonnya saat diberlakukannya keadaan darurat wabah penyakit corona di Lausanne, Swiss, Sabtu (28/3). Negara-negara di seluruh dunia mengambil langkah-langkah pencegahan untuk membendung penyebaran virus corona

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah negara di dunia telah memberlakukan karantina wilayah (lockdown), baik keseluruhan maupun sebagian. Lockdown diterapkan sebagai langkah untuk membendung penyebaran virus corona baru atau Covid-19.

Pemberitaan susulan mengenai maraknya aksi borong, kebijakan kerja dari rumah, kegiatan belajar-mengajar melalui sistem daring, hingga ketiadaan tisu toilet menjadi hangat dibicarakan. Kabar tentang jumlah kasus positif yang kian bertambah atau korban meninggal dunia akibat terinfeksi virus tersebut mungkin menjadi perhatian utama.

Baca Juga

Segala tantangan dan kerepotan tersebut tentu dialami juga oleh warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di beberapa negara Eropa. Hesti Aryani, misalnya, bercerita bahwa dirinya harus mengantre dan menjaga jarak dua meter dengan orang lain sebelum memasuki sebuah swalayan di Kota Zurich, Swiss, untuk membeli bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari.

“Karena dibatasi tidak boleh lebih dari 50 orang di dalam gedung swalayan dalam satu waktu. Jadi, kami harus antre untuk membersihkan tangan dahulu menggunakan sanitizer, baru boleh masuk,” kata Hesti kepada Antara.

Di Zurich, hanya apotek, kantor pos, pom bensin, dan pasar swalayan yang boleh buka. Pasar swalayan pun hanya melayani penjualan bahan makanan serta kebutuhan sehari-hari seperti sabun. “Stok barang-barang penting seperti sabun dan hand sanitizer, yang dua pekan lalu sempat habis karena orang-orang panic buying, sekarang sudah normal. Stok sudah tersedia kembali,” ujar Hesti.

Saat akan membayar barang-barang belanjaan di kasir, pengunjung juga wajib menjaga jarak dua meter dengan pengunjung lainnya. Sebelum meninggalkan swalayan, pengunjung juga harus kembali membersihkan tangan menggunakan penyanitasi tangan.

Sejak Pemerintah Swiss menetapkan pembatasan sosial pada awal Maret lalu, kegiatan di ruang-ruang publik terhenti. Warga dianjurkan bekerja dari rumah. Kegiatan sekolah dan perkuliahan juga dilanjutkan secara daring. Transportasi umum seperti bus dan trem masih beroperasi, tetapi dengan sedikit sekali penumpang.

Imbauan agar warga Swiss mempraktikkan gaya hidup bersih dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun, tidak batuk atau bersin sembarangan, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain pun gencar disuarakan pemerintah. Imbauan diserukan termasuk melalui poster-poster yang ditempelkan di apartemen penduduk.

Pada umumnya, menurut Hesti, masyarakat Zurich sangat mematuhi imbauan tersebut untuk mencegah makin meluasnya penularan Covid-19. “Di sini orang-orangnya patuh sekali. Karena, meskipun muda, sehat, dan imunitasnya kuat, tetapi kita bisa menjadi carrier yang bisa menularkan virus ke orang lain di sekitar kita yang lebih rentan terinfeksi,” ujar pengajar bahasa Indonesia di Universitas Zurich itu.

Pemerintah setempat melalui situs resminya secara rutin menginformasikan perkembangan situasi dan penanganan wabah tersebut sehingga masyarakat dapat merespons dengan tepat. “Secara keseluruhan kami merasa aman karena pemerintah rutin memberikan informasi dan informasinya pun tidak membuat panik. Langkah-langkah yang harus kami lakukan juga diinformasikan di situ,” kata Hesti yang tinggal di Zurich bersama suami dan putrinya.

Di Jenewa, Swiss, warga sudah tidak bisa lagi berjemur atau sekadar menikmati suasana di taman-taman. “Warga tidak boleh keluar rumah kalau tidak perlu. Berkumpul lebih dari lima orang di luar rumah juga tidak boleh,” ujar Sonya Michaella, seorang WNI yang tinggal di Jenewa.

Untuk mencegah agar tidak tertular Covid-19, Sonya dan suaminya sangat disiplin menerapkan perlindungan dan pembersihan diri. Setelah keluar rumah, ia akan langsung mandi dan mengganti pakaian. Tidak lupa, dia akan mengelap bagian bawah sepatu sesudah dipakai keluar rumah.

“Sejauh ini kami hanya keluar untuk membeli bahan pangan. Itu pun tidak sampai satu jam, paling lama hanya 30 menit,” kata Sonya.

Swiss menjadi salah satu negara yang paling terdampak Covid-19. Worldometers mencatat jumlah kasus Covid-19 di negara itu per 1 April 2020 mencapai 16.605 kasus positif dengan 433 kematian dan 1.823 sembuh.

Di Prancis, jumlah infeksi Covid-19 tercatat 52.128 kasus dengan 3.523 kematian dan 9.444 sembuh. Angka tersebut menempatkan Prancis di posisi keempat untuk negara paling terdampak Covid-19 di Eropa setelah Italia, Prancis, dan Jerman.

Tingginya kasus positif corona di Prancis disebut karena masyarakat sempat kurang mengindahkan imbauan pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah. Selain itu, pemilu wali kota yang diadakan pada 15 Maret lalu mengakibatkan Pemerintah Prancis tidak bisa langsung memberlakukan karantina wilayah.

Baru pada 16 Maret masyarakat Prancis diminta untuk membatasi kegiatan di luar rumah dan menerapkan pembatasan sosial. “Pada saat itu juga sudah mulai ada pengecekan oleh polisi. Kita harus mengisi surat pernyataan alasan untuk keluar rumah. Kalau melanggar, ada dendanya. Awalnya 135 euro, sekarang sudah naik,” ujar Winna Lia, seorang mahasiswa Indonesia yang tinggal di Paris.

Mencermati perkembangan situasi di pusat mode dunia itu, Winna menilai kepatuhan masyarakat terhadap aturan berangsur-angsur meningkat. Di ruang publik, masyarakat juga sudah menjaga jarak satu dengan lainnya.

Ia juga melihat situasi keamanan di Prancis secara umum terkendali. Pasalnya, sebelum memberlakukan pembatasan pergerakan sosial, pemerintah setempat telah membuat rencana yang matang untuk mencukupi kebutuhan esensial warganya, termasuk memastikan distribusi dan stok pangan terpenuhi hingga mengantisipasi aksi kekerasan.

“Jujur saya jauh lebih khawatir dengan kondisi di Indonesia daripada di sini karena saya belum melihat kesadaran masyarakat maupun pemerintah untuk lebih tegas,” ujar Winna.

“Tentunya pembatasan harus disiapkan dengan baik agar masyarakat menengah ke bawah tidak semakin menderita. Tetapi, kalau pemerintah semakin terlambat bertindak, efek ke ekonomi akan semakin besar dan sulit untuk rebound,” kata mahasiswa yang tengah menempuh studi master jurusan pengembangan pariwisata di University of Paris 1 Pantheon-Sorbonne itu.

Dari segi interaksi sosial, pembatasan yang diberlakukan Pemerintah Prancis hingga 15 April mendatang. Ada kemungkinan pembatasan itu diperpanjang. Jelas hal tersebut mengubah wajah negara ini. Jalan-jalan sepi. Sekolah dan kampus ditutup dan beralih ke metode daring. Warganya disarankan bekerja dari rumah. Jam buka toko-toko pun menjadi lebih pendek.

“Selama lockdown jelas jadi tidak bisa ketemu teman dan saya mengurangi interaksi dengan mertua yang tinggal dekat rumah. Sebelumnya kami sering makan malam bareng, sekarang tidak lagi,” kata Cinantyan Prapatti, seorang WNI yang tinggal di Nantes, Prancis.

Cinan, yang menikah dengan warga lokal, bahkan sempat menyaksikan kondisi beli panik atau panic buying saat orang-orang membeli kebutuhan dalam jumlah yang banyak. Akibatnya, stok sabun batang dan tisu toilet habis di pasaran.

Ia juga prihatin karena petugas kasir di supermarket harus bekerja dengan perlindungan yang minimum. Kasir bekerja tanpa masker karena tidak ada standar resmi bagaimana pengelola supermarket harus menyediakan perlindungan bagi pegawainya. Padahal, mereka berinteraksi dengan banyak pelanggan.

“Saya sehari-hari sebetulnya low risk banget, sejak sebelum wabah Covid-19 juga jarang keluar rumah. Tetapi, sekarang jujur tiap keluar jadi paranoid dan insecure. Habis belanja langsung pakai hand sanitizer. Sampai rumah, cuci tangan, ponsel, kartu kredit didisinfektan. Barang-barang yang dibeli juga dibersihkan,” ujar Cinan.

Namun, di tengah kewaspadaan yang terus dibangun untuk mencegah penularan virus, rasa solidaritas antarmasyarakat di Prancis masih senantiasa dipupuk. Tidak jarang Cinan membantu tetangganya yang lansia yang sama sekali tidak bisa keluar rumah karena kondisi fisik yang lebih rentan tertular.

“Saya masih bisa keluar rumah untuk olahraga. Jadi, masih bisa lari asal sendirian. Tidak lebih dari satu jam dan dalam radius satu kilometer dari tempat tinggal. Saya beberapa kali ikut membantu tetangga lansia untuk membawa anjingnya jalan-jalan di luar,” kata Cinan.

Semangat solidaritas yang sama juga ditunjukkan warga Zurich. Mereka tidak segan membantu kerabat atau tetangga yang lanjut usia untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dan mengantar ke tempat tinggal mereka.

Kesadaran dan solidaritas seperti ini dinilai perlu terus digalakkan untuk membantu seluruh masyarakat melalui masa-masa sulit hingga pada akhirnya wabah berhasil dikalahkan. “So please, stay at home now. Save lives. Sudah di rumah saja karena dengan di rumah, kita bisa membantu program pemerintah untuk memperlambat laju penularan Covid-19 dan kita bisa ikut menyelamatkan nyawa banyak orang,” kata Hesti Aryani menyampaikan pesannya dari Zurich.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement