Selasa 31 Mar 2020 20:39 WIB

Akademisi: Bukti Ilmiah Belum Jadi Pertimbangan Regulasi

Bukti ilmiah belum jadi pertimbangan karena keterbatasan literasi pembuat kebijakan

Penelitian (ilustrasi). Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO sekaligus akademisi dari National University of Singapore, Tikki Pangestu berpendapat penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan belum menjadi pertimbangan utama di sebagian besar negara berpendapatan menengah ke bawah (low to middle income).
Foto: ANTARA FOTO/Moch Asim
Penelitian (ilustrasi). Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO sekaligus akademisi dari National University of Singapore, Tikki Pangestu berpendapat penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan belum menjadi pertimbangan utama di sebagian besar negara berpendapatan menengah ke bawah (low to middle income).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO sekaligus akademisi dari National University of Singapore, Tikki Pangestu berpendapat penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan belum menjadi pertimbangan utama di sebagian besar negara berpendapatan menengah ke bawah (low to middle income).

“Kajian ilmiah seringkali dikalahkan oleh opini dan nilai-nilai subjektif lainnya. Bahkan ideologi mengalahkan fakta, kebenaran, dan bukti ilmiah,” kata Tikki Pangestu dalam informasi tertulis di Jakarta, Senin (31/3).

Tikki menjelaskan kondisi tersebut terjadi karena tiga alasan. Pertama, kurangnya bukti ilmiah yang mendalam dan relevan. Jika pun ada, jumlahnya terbatas, kurang komprehensif, dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan. “Kerap kali bukti ilmiah tidak tersedia di waktu yang tepat,” ujarnya.

Alasan selanjutnya adalah keterbatasan literasi ilmiah di kalangan para pembuat kebijakan. Menurut Tikki, hal tersebut dikarenakan mereka tidak memiliki latar belakang sains.

Akibatnya, ada kemungkinan, para pemangku kebijakan meremehkan hasil kajian ilmiah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan. Alasan terakhir, tidak semua pembuat kebijakan ingin menghasilkan beleid yang buruk. Bukti ilmiah seharusnya menjadi salah satu sumber yang dipertimbangkan.

“Namun, pada kenyataannya, bukti ilmiah harus bersaing dengan tekanan politik, keterbatasan sumber daya, kepercayaan, nilai-nilai masyarakat setempat, media, serta yang terpenting para pendukungnya,” katanya.

Lingkungan yang anti-sains, kata Tikki, menyebabkan permasalahan terhadap kesehatan secara global. Dia mencontohkan dengan permasalahan jumlah perokok yang sudah mencapai satu miliar jiwa, di mana enam hingga tujuh juta orang meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan merokok. 

“Sebagai contoh, Indonesia saat ini memiliki lebih dari 60 juta perokok dan 68 persen di antaranya pria. Hampir 200 ribu kematian setiap tahun karena penyakit terkait merokok,” ujarnya.

Untuk menghapus lingkungan yang anti-sains, Tikki menyarankan agar meningkatkan literasi ilmiah di antara pembuat kebijakan. Kedua, meningkatkan akuntabilitas proses pengambilan keputusan untuk memastikan bukti yang ada akan diperhitungkan.

Ketiga, memfasilitasi dan melembagakan terjemahan pengetahuan serta komunikasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya.

Poin terakhir, bukti ilmiah dan data harus dikombinasikan dengan pendekatan yang lebih humanis agar kebijakan dan praktiknya berjalan efektif. Pada akhirnya, diharapkan bukti dan ilmiah maupun hasil-hasil penelitian yang kredibel dapat menjadi basis dari formulasi regulasi yang ditetapkan di Indonesia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement