Selasa 31 Mar 2020 16:03 WIB

Buruh Jabar Terus Bekerja di Tengah Wabah Covid-19

Penghentian usaha industri ditakutkan membuat kacau perekonomian secara nasional.

Rep: Arie Lukihardianti / Red: Agus Yulianto
Salah satu kegiatan di sebuah pabrik tekstil di Indonesia. (Ilustrasi)
Foto: zhie.student.umm.ac.id
Salah satu kegiatan di sebuah pabrik tekstil di Indonesia. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( KSPSI) memastikan, saat ini, para pekerja di pabrik yang padat karya tidak bisa menghentikan aktivitasnya tanpa ada instruksi langsung dari pemerintah pusat. Menurut Ketua KSPSI Jawa Barat (Jabar) Roy Jinto, penghentian usaha industri ditakutkan membuat kacau perekonomian secara nasional.

Roy mengatakan, telah melakukan komunikasi dengan dinas tenaga kerja di Provinsi Jabar. Sayangnya, mereka pun tidak bisa memutuskan apakah buruh harus berhenti bekerja untuk menjaga agar penyebaran virus corona (COVID-19) tidak terjadi di lingkungan industri. 

"Nah dari Disnaker sendiri untuk lockdown menyeluruh di industri itu harus dari pusat (izinnya). Karena kalau diliburkan ini menyangkut ekonomi nasional," ujar Roy ketika dihubungi, Selasa (31/3).

Saat ini, kata Roy, Disnaker Jabar belum bisa melakukan banyak hal untuk  mengantisipasi penyebaran virus corona di industri padat karya yang mempekerjakan banyak orang. Tapi, Disnaker hanya sekedar memantau dan mengawasi perekrutan tenaga kerja asing (TKA).

 

"Ada surat dari Dinsker dalam kondisi seperti ini TKA yang sudah habis kontrak agar dipulangkan. Kemudian perusahaan jangan dulu mengkontrak TKA baru lagi," kata Roy.

Pemerintah pun, kata dia, telah meminta bahkan mempertegas agar jangan ada kegiatan yang berkerumun karena bisa menimbulkan penyebaran COVID-19 yang semakin masif. Namun, sayangnya imbauan itu tidak berlaku untuk para pekerjaa yang ada di pabrik.

Roy menilai, tanpa ada instruksi agar perusahaan merumahkan sementara para pekerja demi menjaga penyebaran virus menyebar, maka buruh pabrik tetap akan beraktivitas seperti biasa. Padahal mesin yang berdekatan, membuat para pekerja tidak mungkin saling berjauhan.

"Makanya, ini harus ada peraturan dari menteri atau bahkan langsung dari presiden. Kalau daerah hanya bisa mengusulkan, tapi keputusan adanya di pemerintah pusat," katanya.

Roy pun, sangat menyayangkan saat ini tidak ada kebijakan pasti agar para pekerja bisa berada di rumah dan menjaga diri terpapar virus corona. Padahal, sesuai imbauan WHO dalam kondisi pandemi ini masyarakat tidak boleh bekerja bahkan berkerumum dalam jumlah banyak karena bisa berbahaya. 

Namun, kata dia, saat ini banyak perusahaan mulai menerapkan alat pengecek suhu tubuh, tempat mencuci tangan, dan klinik kesehatan yang diperbaiki, tapi hal itu jelas tidak cukup.

"Karena kalau jaraknya masih dekat dalam jumlah banyak virus tetap saja bisa menyebar dari satu pekerja ke pekerja lainnya. Jadi kalau tidak libur buruh memang tidak bisa bekerja berjauhan," paparnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement