Selasa 31 Mar 2020 14:09 WIB

Mewaspadai 5 Hal di Sektor Ekonomi Saat Pandemi Covid-19

Kebijakan ekonomi dalam pandemi corona jangan sampai rakyat menderita.

Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.
Foto: CDC via AP, File
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Rahmat, Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Saya menuliskan ini setelah membaca pernyataan IMF yang mendeklarasikan bahwa ekonomi dunia sedang memasuki masa krisis, yang bahkan lebih besar skalanya dibanding krisis keuangan 2008. Pernyataan IMF ini sejalan dengan pernyataan Sekertaris Jenderal OECD Angel Guria yang menyatakan bahwa krisis pandemi covid-19 ini merupakan “greatest economic, financial and social shock of the 21st century“ (ABC News 23/3/2020).

Yang membedakan di antara kedua lembaga ini adalah pada prediksi waktu yang diperlukan bagi ekonomi dunia untuk kembali pulih dan keluar dari krisis. IMF lebih optimistis dengan beranggapan bahwa ekonomi dunia akan kembali pulih ditahun 2021. Sedang OECD beranggapan bahwa pemulihan ekonomi tidak akan pulih dengan mudah.

OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan jatuh ke kisaran 1,5 persen atau setengah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang sebelumnya diperkirakan oleh OECD. Atau dengan kata lain, kapasitas perekonomian dunia akan terpangkas separuhnya dari proyeksi sebelum pandemi covid-19.

Yang terpenting adalah pemahaman konsensual dari ekonom dan lembaga- lembaga dunia bahwa perekonomian dunia mengalami pukulan keras yang mengarah krisis sebagai dampak dari pandemi covid-19. Itu sebabnya saya memberi penekanan pada istilah maraton sebagai terma kunci dalam mindset kebijakan ekonomi yang akan ditempuh. Penekanan istilah kunci ini perlu kita sarankan kepada otoritas.

Implikasi dari istilah ini adalah bauran kebijakan ekonomi yang akan diambil bertumpu pada titik horison penyelesaian persoalan ekonomi. Yang dimulai dengan penangan sumber disrupsi ekonomi yaitu pandemi covid-19. Kemudian dirangkaikan dengan langkah-langkah mitigatif terhadap pemerosotan lebih jauh perekonomian. Yang berujung pada kebijakan pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial.

Perlu dicatat pemulihan ekonomi dan dan pemulihan sosial itu mesti diletakkan dalam satu keranjang penyelesaian. Sebab kedua-duanya merupakan “‘primus interpares“ dalam problem ekonomi kita. Argumennya adalah seperti yang telah diimplisitkan oleh ekonom Thomas Picketty, pemenang utama dalam krisis ekonomi modern adalah kelompok berpunya (the have). Dikarenakan kapasitas penguasaan aset mereka yang menyebabkan kelompok ini memiliki advantages terhadap sumber-sumber pemulihan; secara ekonomi dan politik.

Dalam bayangan saya, kombinasi antara pemulihan ekonomi dan pemulihan sosial mengandaikan lahirnya kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat infrastruktur perekonomian rakyat kebanyakan (mainstreet economy). Suatu kebijakan ekonomi yang sepenuhnya berpihak pada kelompok ekonomi masyarakat luas (istilah populernya UMKM) tanpa tedeng aling-aling.

Ukurannya adalah menurunnya angka Gini Ratio secara signifikan pascakrisis. Dan bukannya makin meningkatnya angka Gini Ratio pascakrisis; seperti yang selama ini kita lihat. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga merupakan fenomena global, dan baru saja terjadi lagi pasca krisis keuangan dunia tahun 2008 kemarin.

Dalam kerangka “Maraton“ ini ada 5 hal yang perlu diwaspadai. Pertama, Peningkatan angka pengangguran. Kedua, Pemerosotan sumber penerimaan negara. Ketiga, krisis modal UMKM. Keempat, penurunan volume arus barang dan jasa. Kelima, daya tahan institusi keuangan nasional.

Pengangguran kali ini bersifat massal. Terutama sektor informal, tanpa mengabaikan sektor formal yang terdampak. Karena itu dalam jangka pendek kebijakan transfer langsung massal diperlukan.

Ada 76 juta (BPS 2017) penduduk Indonesia dalam kategori near poor dan poor yang masuk di dalamnya. Tidak boleh kurang dari itu. Biarkan rakyat kita tidak menderita dalam bertahan hidup.

Dikarenakan pemerosotan output ekonomi, sumber penerimaan negara dalam bentuk perpajakan juga akan merosot. Ini akan terasa hingga pada anggaran 2021. Pembacaan ini akan sangat berpengaruh pada kalkulasi upaya counter cyclical otoritas. Manejemen pengelolaan pembiayaan defisit akan menjadi kunci dalam hal ini.

Sektor UMKM, sekali lagi, adalah prioritas emas. Kualitas modal mereka sangat terbatas. Dalam situasi krisis yang tidak normal ini, modal mereka akan tergerus habis. Suatu kerangka kebijakan yang dirancang untuk memudahkan mereka untuk kembali memulai bisnis sangat diperlukan.

Disini peran pentingnya ada pada OJK dan Juga Bank Indonesia. Kapasitas regulatif OJK disektor keuangan dan perbankan serta ruang lingkup kewenangan BI harus dipergunakan secara optimal dalam hal ini. Dan jika diperlukan, perluasan kewenangan BI agar bisa mem-bail out sektor riil (UMKM) seyogyanya diperluas.

Arus barang dan jasa juga adalah sisi yang paling keras mengalami pukulan. Ini adalah penjamin lancarnya hubungan supply and demand dalam perekonomian. pada tahap awal, perlu dipikirkan kemungkinan penggunaan kapasitas moda transportasi umum yang sekarang ini idle. Pendarahan di sektor ini akan berdampak pada upaya pemulihan lanjut perekonomian.

Dan yang kelima. Daya tahan institusi keuangan. Tentu kita tidak berharap institusi ini akan diperlukan lagi seperti di tahun 1998 dan 2008. Tetapi menginsulasi sektor ini dari resiko sudah tentu tidak bisa dihindari. Saya pribadi mengapresiasi langkah-langkah otoritas dalam hal ini. Karena keterbatasan  perundang-undangan, kerangka MOU antara otoritas fiskal, Bank Indonesia, OJK dan LPS mestinya diperkuat.

Untuk mengatasi krisis keuangan, kita sudah memiliki UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Tapi dalam menghadapi krisis yang tidak normal ini, terdampak banyak kendala yang membatasi integrasi kebijakan antara pemerintah dan otoritas independen seperti BI, OJK dan LPS.

Karena itu diperlukan suatu landasan yang kuat, yang menjamin integrasi kebijakan di antara lembaga-tersebut agar dapat bersifat eksekutorial. Dengan catatan, tetap karakteristik independen dari masing-masing lembaga itu dalam menjalankan tugasnya.

Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri. Semoga Allah SWT menolong bangsa dan negara kita agar dapat keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement