Senin 30 Mar 2020 23:13 WIB

Ilmuwan Unair Kembangkan Metode Pengobatan Covid-19

akan bisa membantu pemulihan pasien Covid-19, terutama yang masih dalam tahap awal

BlueDot sudah melihat tanda-tanda Covid-19 tepat sembilan hari sebelum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis pernyataannya terkait adanya virus corona baru (Foto: ilustrasi penelitian virus corona)
Foto: Rawpixel
BlueDot sudah melihat tanda-tanda Covid-19 tepat sembilan hari sebelum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis pernyataannya terkait adanya virus corona baru (Foto: ilustrasi penelitian virus corona)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru besar biologi molekuler Fakultas Kedokteran Hewan dari Universitas Airlangga, Chaerul Anwar Nidom, mengklaim telah menemukan metode pengobatan buat pasien yang terinfeksi Covid-19.

Berdasarkan riset yang dikembangkannya, metode aerosol atau penguapan memiliki 57 persen lebih tinggi keampuhannya dibandingkan salbutamol dalam bentuk oral atau diminum. Salbutamol merupakan istilah obat untuk mengatasi sesak napas akibat penyempitan pada saluran udara pada paru-paru (bronkospasme).

“Penggunaanya melalui aerosol ini diharapkan akan bisa membantu pemulihan pasien Covid-19, terutama yang masih dalam tahap awal,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Senin (30/3).

Chaerul yang menjadi ketua tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Professor Nidom Foundation ini menjelaskan pola kerja formula ini dengan cara membendung reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) yang ada di paru-paru. Selain di paru-paru, lanjutnya lagi, reseptor ACE2 ini dapat juga ditemukan di jantung.

Chaerul menjelaskan formula yang dikembangkan ini menggunakan empat kandungan, yakni Bromhexine Hydrochloride (BCL), Guaiphenisin, Vegetable Glycerine (VG), dan Propylene Glycol (PG).

Lebih lanjut Chaerul mengatakan kandungan BCL ini sebenarnya telah lazim digunakan sebagai obat mukolitik untuk mengatasi gangguan pernafasan, terutama yang terkait dengan batuk yang terus menerus.

BCL, kata dia, merupakan reaksi kimiawi dari bromhexine dan hidrogen klorida dalam komposisi yang seimbang. Virus Covid-19, lanjutnya, menyerang sistem pernafasan yang antara lain gejalanya berupa batuk-batuk.

“Mengapa penguapan lebih efektif karena ACE2 harus dibendung secepat mungkin oleh reseptor melalui aerosol. Prosesnya lebih cepat dibandingkan menggunakan cara lain seperti oral karena membutuhkan proses metabolismenya di dalam darah,” jelas guru besar biologi molekuler dari Universitas Airlangga ini.

Dalam penelitian ini, pihak Profesor Nidom Foundation menggandeng perusahaan bioteknologi PUFF dan Nucleus Farma. CEO Nucleus Farma Edward Basilianus mengatakan riset ini harapannya dapat membantu pemerintah yang saat ini tengah gencar memutus mata rantai penularan Covid-19. Selain itu, riset ini dapat dikembangkan sebagai bentuk tindakan awal agar tidak berkelanjutan.

“Mengingat urgensi situasi dan kondisi saat ini yang sangat mendesak, kami membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk mempermudah proses uji klinis sehingga kita dapat segera membantu masyarakat,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement