Senin 30 Mar 2020 17:56 WIB

Kisah Umar, Amru, Ubaidah: Pemimpin yang Dinanti Rakyat

Para pemimpin dinanti dan di hati Rakyat

Ilustrasi Khalifah Umar memasuki Jerusalem pada abad ke 7 Masehi.
Foto: Google.com
Ilustrasi Khalifah Umar memasuki Jerusalem pada abad ke 7 Masehi.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller

"Saya bersama tentara-tentara Islam (rakyat). Dan saya adalah orang yang mencintai mereka. Maka tak mungkin bagi saya meninggalkan mereka. Biarlah saya hidup atau mati di tempat ini,” jawaban surat itu begitu tegas dan jelas.

Meneteslah air mata Amirul Mu’minin Khalifah Umar ibn Khattab membacanya. Sahabatnya, panglima perang yang berjuang bersama membebaskan Baitul Maqdis, pemimpin yang digadang-gadang dapat menggantikannya, menolak meninggalkan negeri yang tengah diamuk pandemi.

Padahal Umar sudah “membujuknya” dengan halus melalui kalimat, “Datanglah ke Madinah, saya perlu bicara langsung denganmu.”

 

Namun seperti sudah diduganya, “bujukan” itu tak mempan. Sang Gubernur Syam, Abu Ubaidah al Jarrah, tak bersedia meninggalkan rakyatnya yang tengah dirundung duka akibat tha’un  (wabah) yang terjadi di kota Anwas.

Pada situasi darurat seperti itulah kepemimpinan seseorang akan teruji. Apakah ia akan menghadapi semua bersama rakyatnya, atau justru mengabaikannya.

Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana para pemimpin dunia mengambil kebijakan untuk menyelamatkan negerinya.

Dari jiran Malaysia, Perdana Menteri Muhyiddin Yassin, beserta wakil dan seluruh anggota kabinet merelakan gaji mereka selama dua bulan untuk disumbangkan bagi korban wabah Covid-19. Jumlah yang terkumpul mencapai 1,9 juta USD.

Dari Afrika, kemarin (29/3) pernyataan Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo yang dirilis Ghana web menjadi viral.

Dalam pidatonya ia menyebutkan, "Ekonomi bisa hidup kembali. Tapi kalau nyawa manusia tidak," mengiringi keputusan lockdown yang ditetapkannya.

Kebijakan yang diambil Pemerintah Korea Selatan juga dicatat sebagai best practice dalam mengatasi pandemi ini.

Berdasarkan data Worldometers, tingkat kesembuhan dari virus corona di Korea Selatan telah mencapai 54 persen atau 5.228 dari total 9.661 kasus yang ada.

Sebanyak 4.811 pasien di antaranya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada Sabtu (28/3) lalu.

Seperti dilaporkan The Korea Times, keberhasilan itu dicapai karena kebijakan tes massal, pengawasan ketat, karantina, social distancing, serta perawatan medis yang tak kenal lelah dari para dokter dan perawat.

Dari sedikit contoh di atas terbaca jelas. Yang dibutuhkan adalah langkah cerdas, ketegasan, serta ketulusan para pemimpin negeri.

Bila kebijakan yang diambil salah, nyawa manusia tak berdosa yang menjadi korbannya. Seperti yang dicatat Imam Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitabnya “Badzlu al Maun Fi Fadhli al Thaun.”

Sewaktu terjadi wabah di Mesir pada 883 H, Malik Muayyad, sang pemimpin memerintahkan rakyatnya berkumpul di lapangan untuk berdoa bersama.

Lalu tercatat, korban yang sebelum acara tersebut “hanya” 40 orang, setelah mereka berkumpul bersama tak kurang 1.000 nyawa melayang.

Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Saat ini, 151.833 dari 723.732 penderita di seluruh dunia dinyatakan sembuh. Jumlah ini terus bertambah setiap harinya.

Bahkan, WHO menyatakan 80 persen pasien sembuh tanpa membutuhkan perawatan khusus. Tentu saja ini tak terjadi serta-merta. Namun, butuh langkah strategis dan kebijakan yang tepat untuk mewujudkannya.

Kecerdasan dan keikhlasan pemimpin, seperti Amru bin Ash dan Abu Ubaidah al Jarrah dalam menghadapi pandemi adalah contoh, bagaimana menjadi pemimpin yang dinanti, pemimpin yang di hati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement