Ahad 29 Mar 2020 07:40 WIB

Penjelasan Ulama Soal Sholatnya Pasien Wabah Penyakit

Pasien wabah penyakit diberikan keringanan atas sholatnya.

Rep: ALi Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Pandangan Ulama Soal Sholatnya Pasien Wabah Penyakit. Foto: Pasien corona (Ilustrasi).
Foto: The Central Hospital of Wuhan via Weibo/Hando
Pandangan Ulama Soal Sholatnya Pasien Wabah Penyakit. Foto: Pasien corona (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Syariat telah menetapkan bahwa kondisi sakit termasuk uzur yang menyebabkan seseorang mendapatkan

keringanan dalam pelaksanaan ibadah sholatnya. Pasien dan tenaga kesehatan  termasuk uzur yang mendapat keringan sholat di tengah wabah penyakit, seperti wabah virus corona saat ini.

Baca Juga

Keringanan apa yang diberikan syariat atas orang yang sakit?

Isnan Ansory, Lc., M.Ag dalam bukunya Fiqih Menghadapi Wabah Penyakit menjelaskan, semua tergantung pada jenis penyakit yang menyebabkan orang yang sakit mendapatkan kesulitan dalam melakukan ibadahnya. Misalnya kata dia, adanya pasien yang pingsan.

 

Terkait hal ini, para ulama sepakat bahwa orang sakit, yang sakitnya menyebabkan dirinya kehilangan kesadaran, mendapatkan keringanan untuk tidak mendirikan ibadah sholat saat waktunya telah masuk. Hal ini diqiyaskan kepada keringanan bagi orang yang tertidur dan lupa. Sebagaimana dijelaskan dalam

hadits berikut.

"Dari Anas bin Malik: Nabi saw bersabda: Siapapun yang terlupa dari melaksanakan sholat, maka shalatlah ia saat ingat. Dan tidak ada kaffarat kecuali hal tersebut.” (HR Bukhari-Muslim)

Pertanyaannya apakah jika telah sadar, shalatnya  wajib diqodho’? Para ulama kata Isnan, sepakat bahwa jika saat sadar, ia masih mendapati sebagian waktu sholat, maka jelasnya sholat pada waktu tersebut tetap wajib dilakukan.

Seperti jika sadarnya di sebagian waktu ashar sebelum maghrib, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat ashar tersebut. Namun para ulama berbeda pendapat, jika dalam penuh waktu sholat, ia tidak sadarkan diri, apakah

sholat-sholat yang ditinggalkannya tetap harus  diqadha?.

Dalam hal ini, para ulama terpecah menjadi tiga mazhab: Mazhab Pertama: tidak wajib qadha. Mayoritas ulama dari kalangan al-Malikiyyah, asy-Syafi’iyyah dan sebagian al-Hanabilah berpendapat bahwa orang sakit yang pingsan sepenuh waktu sholat, tidaklah wajib mengqadha’ sholatnya.

Para ulama shalaf itu kata Isnan berargumentasi dengan hadits berikut:

"Dari Aisyah, ia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang pingsan hingga meninggalkan sholat. Lantas Rasulullah menjawab: Ia tidak berdosa dan tidak ada kewajiban qadha’, kecuali shalat yang saat ia pingsan (belum dilakukan) atau saat sadar (waktu shalat lain), maka tetap wajib diqadha’. (HR. Daruquthni)

Sementara Mazhab Kedua: wajib qadha. Jika kurang dari lima sholat. Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa jika pingsannya dalam durasi kurang dari lima kali sholat, maka tetap wajib diqadha. Namun jika lebih dari lima shalat fardhu, tidak wajib diqadha.

Mereka berargumentasi bahwa pingsan dalam kondisi meninggalkan sholat lima waktu dihukumi seperti orang gila yang gugur kewajiban sholat atas dirinya. Maka gugur pula kewajiban qadha’nya.

Mazhab Ketiga: tetap wajib diqadha secara mutlak. Sebagian kalangan al-Hanabilah dalam pendapat yang masyhur berpendapat bahwa qadha’ sholat tetap wajib dilakukan secara mutlak. Mereka berargumentasi bahwa pingsan dihukumi seperti orang yang tidur, di mana kewajiban qadha shalat tetap dibebankan kepadanya saat sadar.

Hal ini kata Isnan didasarkan kepada qiyas puasa, yang tidak menggugurkan kewajiban qadha’nya di hari yang lain. Di samping itu, mereka juga mandasarkannya kepada amalan para sahabat, sebagaimana  diriwayatkan oleh al-Atsram dalam Sunan-nya.

"Diriwayatkan bahwa Ammar bin Yasir pernah pingsan beberapa hari. Lantas setelah ia siuman, ia bertanya: Apakah aku sudah sholat?. Para shahabatnya menjawab: Engkau tidak sholat selama tiga hari. Lantas ia berkata: Ambilkan aku air wudhu, lalu ia berwudhu dan shalat."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement